Premanisme yang dilakukan oleh sejumlah ormas menjadi momok bagi pelaku usaha di Indonesia. Dari pemalakan hingga gangguan proyek, kondisi ini mengancam iklim investasi dan memperparah pengangguran. (ANTARA/Sulthony Hasanuddin/tom)

Tantangan yang dihadapi pelaku usaha di Indonesia tak hanya berasal dari kondisi ekonomi yang fluktuatif. Ancaman lain yang tak kalah serius adalah aksi premanisme yang dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat (ormas). Praktik seperti pemalakan dan permintaan jatah proyek membuat para pelaku usaha merasa terintimidasi dan ragu untuk menjalankan bisnisnya secara tenang.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, pemerintah perlu bersikap lebih tegas terhadap ormas yang melakukan tindakan melanggar hukum. Ia menilai lemahnya penegakan hukum dapat berdampak negatif terhadap minat investasi di Indonesia.

“Gangguan seperti ini muncul karena tidak ada ketegasan dari pemerintah terhadap ormas. Jika terus dibiarkan, hal ini akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi investor,” kata Esther, Sabtu (3/5/2025).

Situasi ini semakin diperparah dengan gelombang penutupan pabrik di sektor industri padat karya, terutama industri tekstil. Akibatnya, tingkat pengangguran pun meningkat. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, sebagian masyarakat diduga tergoda untuk bergabung dengan ormas sebagai jalan pintas mencari penghasilan.

Namun, Esther menilai bahwa keputusan bergabungnya masyarakat ke ormas tidak selalu disebabkan oleh tekanan ekonomi. “Saya melihat ini bukan hanya soal ekonomi. Ada juga yang memang memiliki minat atau passion dalam aktivitas keormasan,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa tindakan pemerasan oleh oknum ormas harus segera dihentikan oleh aparat penegak hukum. Jika tidak, investor bisa kehilangan kepercayaan dan memilih negara lain sebagai tujuan investasi. 

“Kalau situasi ini terus dibiarkan, maka makin banyak pabrik yang pindah ke luar negeri. Layoff tenaga kerja pun meningkat dan menambah jumlah pengangguran,” imbuhnya.

Sementara itu, pengamat properti Aleviery Akbar menyoroti bagaimana aksi ormas juga merambah ke sektor pembangunan. Ia mencontohkan kasus pembangunan pabrik mobil listrik BYD di Subang, yang mendapat gangguan dari kelompok ormas tertentu.

“Premanisme di sektor properti sudah lama terjadi, hanya saja baru menjadi perhatian publik karena menyangkut proyek besar seperti pabrik kendaraan listrik di Subang. Biaya ekonomi yang timbul akibat ulah ormas ini memang sulit dihitung, tetapi jelas mengganggu ekosistem investasi,” ujar Aleviery.

Gangguan yang terjadi pun berpotensi meningkatkan biaya operasional perusahaan. Pada akhirnya, beban tersebut bisa saja dialihkan kepada konsumen melalui harga produk dan layanan yang lebih tinggi.

Sebelumnya, sejumlah pengusaha dari berbagai sektor menyampaikan keresahannya terhadap aksi premanisme ormas, seperti permintaan uang Tunjangan Hari Raya (THR) dan pembagian proyek secara paksa. 

Tokoh-tokoh dunia usaha yang menyuarakan kekhawatiran tersebut di antaranya adalah Shinta Kamdani dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sahat Sinaga dari Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Hariyadi Sukamdani dari Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), serta Abdul Sobur dari Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Syarief serta Syaiful Bahri dari Aptrindo Banten juga turut menyampaikan hal senada.