Bonus demografi seharusnya jadi peluang, tapi pengangguran Indonesia tetap tinggi. (Foto: ANTARA/Andri Saputra)

Memasuki tahun 2025, persoalan pengangguran masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi banyak negara berkembang di Asia. Indonesia, salah satu ekonomi terbesar di kawasan ini, kembali menghadapi tantangan pelik dalam menyerap angkatan kerja yang terus tumbuh. 

Berdasarkan data proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) per April 2025, tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 5,0%, menjadikannya negara dengan tingkat pengangguran tertinggi kedua di Asia setelah China yang mencatatkan angka 5,1%. 

Meski perbedaannya tipis, posisi ini mengindikasikan adanya tekanan struktural yang perlu ditanggulangi secara serius dan berkelanjutan.

Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat sedikit penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menjadi 4,76% dari 4,82% pada periode yang sama tahun sebelumnya. 

Angka ini merefleksikan dinamika yang lebih kompleks: meskipun persentasenya menurun, jumlah pengangguran justru meningkat menjadi 7,28 juta orang. 

Sementara itu, angkatan kerja melonjak 3,67 juta menjadi 153,05 juta orang, dengan mayoritas atau sekitar 145,77 juta telah bekerja. Lantas, mengapa tingkat pengangguran masih tinggi, dan apa strategi efektif untuk menurunkannya?

Tingkat pengangguran di Asia berkembang tahun ini menunjukkan variasi yang menarik. China, meski masih tertinggi, mampu mempertahankan kestabilan di angka 5,1% berkat reformasi internal untuk memperkuat konsumsi domestik dan mendorong sektor industri padat karya. 

Indonesia menyusul dengan 5,0%, diikuti India (4,9%) dan Filipina (4,5%). Di sisi lain, Vietnam dan Thailand berhasil mencatatkan tingkat pengangguran yang sangat rendah—masing-masing 2,0% dan 1,0%. 

Capaian ini didukung oleh struktur ekonomi yang lebih siap menyerap tenaga kerja, terutama melalui sektor ekspor dan manufaktur yang agresif dan inklusif.

Indonesia menghadapi tantangan ganda: selain harus mengejar daya saing dengan negara-negara tetangga, juga harus mengelola pertumbuhan angkatan kerja yang begitu cepat akibat bonus demografi. 

Di tengah tantangan tersebut, masih terdapat ketimpangan antara data global (IMF) dan data domestik (BPS), yang kemungkinan disebabkan oleh perbedaan metodologi, cakupan waktu, serta efek musiman. Namun demikian, konsistensi arah perbaikan tetap menjadi hal penting yang patut diapresiasi, meskipun jalan menuju perbaikan struktural masih panjang.

Terdapat beberapa penyebab mendasar yang membuat pengangguran di Indonesia tetap tinggi. Salah satunya adalah ketimpangan antara keterampilan yang dimiliki tenaga kerja dan kebutuhan riil dunia industri. 

Banyak lulusan pendidikan belum dibekali kemampuan teknis maupun soft skills yang sesuai dengan tuntutan zaman. Survei internasional menunjukkan bahwa hanya sekitar 35% pelajar Indonesia merasa pendidikan mereka benar-benar membantu meningkatkan kapasitas diri—jauh di bawah rata-rata negara maju yang mencapai 70%.

Selain itu, fenomena ledakan angkatan kerja akibat bonus demografi menambah beban pada sistem ekonomi. Pertumbuhan angkatan kerja sebesar hampir 3,7 juta orang dalam satu tahun menciptakan tekanan besar, terutama ketika sebagian besar lapangan kerja baru hanya tersedia di sektor informal. 

Fakta bahwa hanya sekitar 42% tenaga kerja berada di sektor formal pada 2024 memperjelas betapa dominannya pekerjaan dengan perlindungan sosial dan upah minim.

Tak kalah penting, fenomena pengangguran terselubung juga menjadi tantangan. Banyak orang yang putus asa mencari kerja tidak lagi masuk dalam hitungan resmi pengangguran. Mereka bisa jadi bekerja di sektor informal, atau bahkan tidak produktif sama sekali, namun tidak terdata sebagai pengangguran terbuka. 

Di sisi lain, perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan hanya mencapai 2,8% pada 2025 turut menekan permintaan ekspor dan mengurangi arus investasi asing ke Indonesia—dua motor utama penciptaan lapangan kerja dalam beberapa dekade terakhir.

Menyadari urgensi persoalan ini, pemerintah Indonesia menetapkan target TPT 2025 dalam kisaran 4,5% hingga 5%, sebagaimana tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Berbagai program telah diluncurkan untuk mendukung pencapaian ini. 

Salah satu langkah konkret adalah pembangunan ribuan Balai Latihan Kerja (BLK) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 4.280 unit. BLK tidak hanya menawarkan pelatihan teknis seperti pengelasan, desain grafis, atau coding, tetapi juga menjadi inkubator bagi calon wirausaha muda.

Selain itu, Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang telah diperbarui pada 2025 menjadi instrumen perlindungan sosial penting. Dengan iuran sebesar 0,36% dari gaji bulanan, program ini menyediakan tunjangan dan layanan pelatihan ulang bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan. 

Di bidang pendidikan, pemerintah semakin gencar mengembangkan pendidikan vokasi dan memperluas kerja sama dengan industri guna memastikan kurikulum benar-benar relevan dengan kebutuhan pasar.

Target jangka menengah lain yang diusung pemerintah mencakup penurunan tingkat kemiskinan nasional ke kisaran 7–8% dan peningkatan Indeks Modal Manusia (Human Capital Index) menjadi 0,56. 

Semua ini dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing dan produktivitas tenaga kerja, yang pada akhirnya akan berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja nasional.

Keberhasilan Vietnam dan Thailand dalam menjaga tingkat pengangguran tetap rendah bisa menjadi bahan pembelajaran. Kedua negara ini fokus pada pengembangan sektor industri bernilai tambah tinggi, investasi di infrastruktur, serta integrasi sistem pendidikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. 

Pemerintah di sana juga secara aktif menarik investasi asing dengan menciptakan iklim bisnis yang stabil dan ramah terhadap industri padat karya serta teknologi.

Indonesia bisa mengadopsi pendekatan serupa dengan mendorong lebih banyak investasi di sektor teknologi informasi, manufaktur berorientasi ekspor, dan ekonomi digital. 

Kunci keberhasilannya terletak pada kolaborasi erat antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan. Dengan strategi ini, Indonesia tidak hanya mampu mengurangi pengangguran, tetapi juga menciptakan pekerjaan yang layak dan berkelanjutan.

Meski tingkat pengangguran Indonesia berada di angka 5,0% menurut IMF—tertinggi kedua di Asia berkembang—data domestik menunjukkan kemajuan. TPT menurun, partisipasi angkatan kerja meningkat, dan berbagai inisiatif pemerintah mulai menunjukkan hasil. 

Namun, tantangan masih membentang panjang: dari ketidaksesuaian keterampilan, pertumbuhan angkatan kerja, hingga dampak eksternal dari perlambatan ekonomi global.

Untuk menanggapi tantangan ini, Indonesia perlu konsisten dengan strategi jangka panjang yang tidak hanya bersifat reaktif, tapi juga transformatif. BLK, program JKP, dan reformasi pendidikan hanyalah sebagian dari jawaban. 

Peran dunia usaha dan masyarakat juga sangat krusial dalam menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang sehat. Bila semua pihak mampu bersinergi, bukan tidak mungkin Indonesia mampu mengubah tantangan pengangguran menjadi peluang emas menuju lompatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.