Dewan Eropa akhirnya menyatakan bahwa tindakan Israel di Gaza bisa tergolong genosida dan pembersihan etnis. Pernyataan ini muncul setelah puluhan ribu warga sipil tewas dan krisis kemanusiaan memburuk. (Foto: kasihpalestina)

Krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Gaza kini memasuki babak baru perhatian dunia internasional. Pelapor Khusus Majelis Parlemen Dewan Eropa, Saskia Cloete, dalam laporan terbarunya, menyatakan bahwa tindakan Israel di Gaza berpotensi kuat memenuhi definisi pembersihan etnis dan genosida.

"Semua ini, ditambah dengan pernyataan yang dibuat oleh anggota pemerintah Israel mengenai penduduk Gaza, membuat sangat sulit untuk mengabaikan fakta bahwa tindakan ini mungkin merupakan pembersihan etnis dan genosida," tegas Cloete dalam pernyataannya.

Pernyataan ini datang di tengah blokade total yang diberlakukan sejak 2 Maret, yang semakin memperparah situasi kemanusiaan. Warga sipil Gaza kini terkungkung di wilayah yang kian menyempit, tanpa jaminan perlindungan bahkan di zona-zona yang sebelumnya diklaim "aman".

Menurut Cloete, tindakan Israel melanggar hukum humaniter internasional, termasuk kewajiban menyediakan akses tak terbatas untuk bantuan kemanusiaan. Ia menyerukan kepada Israel untuk segera menghentikan pembunuhan warga sipil, memberikan akses bantuan, dan membatalkan pengusiran paksa terhadap penduduk Gaza.

"Saya menyerukan negara-negara anggota Dewan Eropa untuk melakukan segala yang mereka bisa guna memastikan gencatan senjata dan penghormatan hukum internasional," tambahnya, menekankan pentingnya penegakan Konvensi Genosida dan Konvensi Jenewa.

Sebagai bagian dari upaya diplomatik, menteri luar negeri Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan Prancis bertemu di Paris pada Jumat, 24 Mei. Pertemuan ini bertujuan untuk menghentikan perang di Gaza, memastikan masuknya bantuan kemanusiaan, serta mempersiapkan konferensi internasional di bawah naungan PBB pada Juni 2025, yang akan membahas solusi dua negara.

Gelombang Protes Global

Sementara para diplomat berdiskusi di ruang perundingan, gelombang kemarahan publik terus menggema di jalan-jalan dunia.

Di Stockholm, Swedia, ratusan orang berkumpul di Odenplan Square, meneriakkan seruan "Kebebasan untuk Palestina!" dan "Tidak terhadap Rencana Netanyahu!". Salah satu tokoh yang hadir, aktivis Lars Ohly, menyatakan:

"Tidak bisa diterima Swedia diam saat lebih dari 50.000 orang tewas, termasuk 15.000 anak-anak."

Di Paris, Prancis, ratusan demonstran memadati Bourse Square, memukul panci kosong sebagai simbol kelaparan di Gaza dan meneriakkan slogan keras:

"Israel pembunuh, Macron kaki tangan!"
"Ada genosida di Gaza, kami tidak akan tinggal diam," ujar seorang pengunjuk rasa bernama Myriem.

Laporan dari badan-badan PBB seperti WHO dan OCHA menyebutkan bahwa lebih dari 35.000 orang tewas, mayoritas dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. UNRWA juga melaporkan bahwa 90% populasi Gaza kini mengalami kelaparan akut.

Di sisi hukum internasional, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tengah menyelidiki dugaan kejahatan perang oleh Israel, termasuk kemungkinan pelanggaran berat terhadap warga sipil dan penggunaan kekuatan berlebihan (Reuters, Mei 2025).

Respons Israel dan Blokade Resolusi PBB

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, membantah tuduhan genosida, dengan menyatakan:

"Israel berperang melawan Hamas, bukan warga sipil."

Namun demikian, upaya Dewan Keamanan PBB untuk mengesahkan resolusi gencatan senjata terus gagal, sebagian besar akibat veto dari Amerika Serikat dan sekutunya, sebagaimana dilaporkan oleh Al Jazeera pada April lalu.

Tuduhan genosida oleh Dewan Eropa menandai titik balik dalam wacana internasional terkait konflik Gaza. 

Sementara tekanan global semakin besar—baik melalui diplomasi maupun protes massa—resolusi nyata di PBB masih terbentur kepentingan geopolitik. Gaza tetap terperangkap dalam krisis, menanti tindakan dunia yang lebih tegas dan konkret.