sejarah tentang klaim 350 tahun penjajahan Belanda yang selama ini kurang akurat dan perlu revisi. (Foto: Flickr/Can Pac Swire)

Selama puluhan tahun, bangsa Indonesia mewarisi sebuah narasi besar: bahwa tanah air ini dijajah Belanda selama 350 tahun. Klaim ini begitu mengakar dalam ingatan kolektif, terutama sejak dikumandangkan oleh tokoh-tokoh kemerdekaan seperti Presiden Soekarno dalam berbagai pidato kenegaraan. 

Namun, seiring berkembangnya kajian sejarah dan kesadaran akan pentingnya keakuratan narasi kolektif, klaim tersebut kini mulai dipertanyakan secara akademis dan resmi.

Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, dalam upaya membenahi pemahaman sejarah nasional, telah memulai revisi besar-besaran terhadap narasi kolonial. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa klaim "350 tahun penjajahan" tidak sepenuhnya tepat dan terlalu menyederhanakan kompleksitas sejarah Nusantara. 

Menurutnya, narasi ini menutup fakta bahwa perlawanan terhadap penjajahan berlangsung sepanjang masa, dan banyak wilayah di Indonesia tidak pernah sepenuhnya tunduk pada kolonialisme Belanda.

Asal-usul Narasi 350 Tahun

Gagasan mengenai "350 tahun penjajahan" tidak muncul dari kajian sejarah yang ketat, melainkan lahir dari retorika politik dan semangat nasionalisme. 

Ungkapan ini pertama kali dikaitkan dengan pidato-pidato Soekarno dan Mohammad Yamin pada masa awal kemerdekaan. Pernyataan tersebut dianggap mampu membangkitkan kesadaran nasional dan membangun solidaritas melawan warisan kolonialisme.

Namun, sejarahwan seperti Asvi Warman Adam menunjukkan bahwa narasi ini memiliki akar yang lebih tua. Salah satu penyebabnya adalah pernyataan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bonifacius de Jonge, pada 1935 yang menyatakan, “Kami telah berada di sini selama 300 tahun dan akan berada 300 tahun lagi.” 

Kalimat ini bukanlah hasil kajian historis, melainkan ungkapan kepercayaan diri kolonial yang kemudian diputarbalikkan oleh nasionalis menjadi simbol ketertindasan.

Narasi “350 tahun penjajahan” didasarkan pada perhitungan sejak kedatangan Cornelis de Houtman ke Banten pada 1596 hingga Proklamasi Kemerdekaan pada 1945. Namun, pandangan ini gagal menggambarkan kenyataan bahwa kolonialisme Belanda berkembang secara bertahap, tidak serentak, dan tidak merata.

Sejarawan hukum Belanda-Indonesia, G.J. Resink, menjadi pelopor dalam membongkar mitos tersebut. Dalam karyanya Indonesia’s History Between the Myths (1968), ia menegaskan bahwa Belanda pada awalnya hanya merupakan kekuatan dagang dan belum menjalankan kontrol politik atau administratif atas wilayah-wilayah Nusantara. Proses kolonialisasi militer baru berlangsung secara signifikan di abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Contohnya:

Aceh baru ditaklukkan secara formal pada 1903 setelah perang yang berlangsung lebih dari tiga dekade.

Kerajaan Bone di Sulawesi Selatan menyerah pada 1905.

Klungkung di Bali ditaklukkan lewat intervensi militer terakhir pada 1908.

Jika dihitung dari penaklukan Klungkung (1908) hingga 1945, masa penjajahan penuh hanya berlangsung 37 tahun.

Alternatif Perhitungan Durasi Penjajahan

Sejumlah pendekatan historis yang lebih akurat telah diajukan oleh para sejarawan:

Pendekatan 37-50 tahun: Menghitung sejak penaklukan wilayah terakhir (1903–1908) hingga kemerdekaan (1945).

Pendekatan 142 tahun: Berdasarkan masa pemerintahan kolonial Belanda sejak pengambilalihan dari VOC (1800) hingga pendudukan Jepang (1942).

Pendekatan 126 tahun: Menghitung masa pemerintahan kolonial murni Belanda (1816–1942), tidak termasuk periode kekuasaan Inggris dan Prancis.

Ketiga pendekatan ini menunjukkan bahwa penjajahan bukanlah sebuah blok waktu tunggal yang menyeluruh, melainkan proses yang kompleks dan beragam antar wilayah.

Kompleksitas Politik dan Perlawanan di Nusantara

Berbeda dari narasi tunggal penjajahan, realitas sejarah menunjukkan bahwa banyak kerajaan di Nusantara tetap mempertahankan otonomi mereka jauh ke abad ke-20. VOC, yang berkuasa sejak 1602, lebih merupakan korporasi dagang ketimbang kekuatan politik penjajah. Dominasi teritorialnya terbatas pada pos-pos dagang strategis.

Setelah VOC dibubarkan, Pemerintah Belanda mengambil alih kendali dan mulai menjalankan sistem kolonial lebih formal. Meski demikian, penaklukan tidak berjalan mulus. Beberapa kerajaan seperti Aceh, Gowa, Ternate, Bacan, dan Klungkung terus memberikan perlawanan yang sengit.

Peristiwa Puputan Klungkung tahun 1908 menjadi simbol keteguhan perlawanan lokal. Raja Klungkung dan ratusan pengikutnya melakukan aksi bunuh diri massal dengan mengenakan pakaian putih dan bersenjatakan keris daripada menyerah kepada kekuasaan Belanda. 

Aksi heroik ini mendapat perhatian luas bahkan di media Eropa dan memperkuat citra tentang semangat perjuangan rakyat Nusantara.

Implikasi Revisi Narasi

Revisi narasi sejarah kolonial yang sedang digagas memiliki dampak strategis:

Mengoreksi Distorsi Sejarah: Menyediakan gambaran lebih akurat dan berbasis bukti mengenai proses kolonialisasi.

Menghargai Perlawanan Lokal: Menempatkan tokoh-tokoh dan kerajaan yang melakukan perlawanan dalam narasi sejarah nasional secara layak.

Membangun Identitas yang Kritis: Menyemai kesadaran sejarah yang bukan hanya heroik tetapi juga reflektif terhadap kompleksitas masa lalu.

Meningkatkan Kualitas Pendidikan Sejarah: Menawarkan pengajaran sejarah yang lebih bernuansa dan berbasis penelitian ilmiah, bukan hanya simbolik atau politis.

Proses revisi ini dikerjakan oleh lebih dari 100 sejarawan Indonesia dan dijadwalkan menghasilkan sepuluh jilid buku sejarah baru yang akan diterbitkan pada Agustus 2025.

Meluruskan narasi sejarah bukan berarti melemahkan semangat kebangsaan. Justru dengan membangun pemahaman sejarah yang lebih tepat, bangsa Indonesia dapat membentuk identitas yang lebih kuat, jujur, dan terbuka terhadap masa lalu yang kompleks. 

Mitos 350 tahun penjajahan mungkin telah memainkan peran penting dalam membangkitkan semangat kemerdekaan, namun kini saatnya kita melangkah lebih jauh—dengan sejarah yang berpijak pada fakta, bukan sekadar retorika.