Pemerintah Israel secara resmi menyetujui rencana ekspansi permukiman terbesar dalam beberapa dekade terakhir dengan mengesahkan pembangunan 22 komunitas baru di wilayah Tepi Barat. Keputusan ini mencakup legalisasi pos-pos terdepan ilegal serta pendirian permukiman baru, yang secara langsung memperluas cakupan kendali Israel di wilayah yang diperebutkan.
Dalam pernyataan bersama, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyatakan bahwa langkah ini adalah bagian dari strategi nasional untuk
“memperkuat kendali Israel, mencegah pembentukan negara Palestina, dan mengamankan cadangan pembangunan untuk masa depan.”
Langkah ini, yang menurut organisasi Peace Now melibatkan legalisasi 15 pos terdepan ilegal dan pendirian tujuh permukiman baru, mendapat reaksi keras dari berbagai pihak internasional dan Palestina.
Peace Now menyebut keputusan ini sebagai “langkah dramatis menuju aneksasi de facto” dan bukti bahwa “pemerintah Israel lebih memilih aneksasi daripada perdamaian.”
Ekspansi ini dinilai sebagai pukulan telak terhadap prospek solusi dua negara. Nabil Abu Rudeineh, juru bicara Otoritas Palestina, mengecam kebijakan ini sebagai
“eskalasi berbahaya yang menantang legitimasi internasional dan melanggengkan kekerasan.” Menurutnya, pembangunan semacam ini tidak hanya mencaplok tanah Palestina, tetapi juga mengancam stabilitas regional secara keseluruhan.
Lebih jauh, Peace Now mencatat bahwa dari lebih dari 150 pos terdepan ilegal yang ada, Israel telah melegalkan sekitar 45 dalam beberapa tahun terakhir.
Legalitas permukiman ini dipertanyakan secara luas: hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa Keempat dan berbagai resolusi PBB, secara tegas menyatakan bahwa pemindahan populasi sipil ke wilayah pendudukan adalah tindakan ilegal.
Selain itu, ekspansi ini juga dianggap melanggar Kesepakatan Oslo 1993, yang seharusnya membentuk kerangka kerja negosiasi dan penahanan diri dari langkah sepihak.
Di sisi lain, para pemimpin Israel terus menekankan klaim historis atas wilayah tersebut. Bezalel Smotrich dengan tegas menyatakan:
“Langkah selanjutnya—kedaulatan! Kami mengklaim warisan leluhur, bukan tanah asing.” Pernyataan ini mencerminkan pandangan nasionalis relijius yang mendasari kebijakan pemukiman saat ini.
Namun, penguatan narasi historis ini bertabrakan langsung dengan kerangka hukum internasional dan kepentingan diplomatik global. Banyak analis memperingatkan bahwa kebijakan ini berisiko tidak hanya memperburuk kekerasan di lapangan, tetapi juga mengisolasi Israel dari komunitas internasional.
Ekspansi permukiman juga terjadi bersamaan dengan peningkatan operasi militer Israel di berbagai wilayah Tepi Barat, termasuk penggusuran rumah warga Palestina di Area C.
Menurut laporan organisasi hak asasi manusia, lebih dari 300 warga Palestina telah dipindahkan secara paksa dalam empat bulan terakhir. Ini memperkuat kekhawatiran bahwa ekspansi permukiman bukan hanya soal pembangunan, melainkan juga strategi penguasaan wilayah secara sistematis.
Keputusan ini membawa Israel dan Palestina semakin jauh dari meja perundingan. Dengan narasi nasionalis yang semakin dominan di pemerintahan Israel dan frustrasi yang terus mendalam di pihak Palestina, solusi dua negara kini terlihat semakin sulit dicapai.
Komunitas internasional, termasuk Uni Eropa dan PBB, telah menyerukan agar Israel membatalkan keputusan tersebut, namun hingga kini tidak ada indikasi bahwa tekanan diplomatik akan mengubah arah kebijakan Tel Aviv.
Sementara itu, dunia menyaksikan—dan menanti—apakah tindakan ini akan menjadi titik balik dalam konflik yang telah berlangsung lebih dari setengah abad, atau justru menjerumuskan kawasan ke dalam siklus kekerasan baru yang lebih dalam dan lebih luas.
0Komentar