![]() |
Nissan Motor Co akan menutup tujuh fasilitas produksi global dan memangkas 20.000 pekerja sebagai bagian dari restrukturisasi besar untuk menghemat biaya hingga ¥500 miliar. (David dee delgado) |
Nissan Motor Co tampaknya tengah memasuki fase kritis dalam sejarah perusahaannya. Di tengah tekanan industri otomotif global yang kian kompetitif, produsen mobil asal Jepang ini dikabarkan bersiap melakukan langkah besar: menutup sejumlah fasilitas produksi di lima negara, termasuk dua pabrik utama di Jepang. Langkah ini mencerminkan betapa mendalamnya krisis yang sedang dihadapi Nissan.
Menurut laporan Yomiuri Shimbun dan beberapa media lainnya, Nissan sedang mempertimbangkan penutupan pabrik Oppama dan Hiratsuka, yang berlokasi di Prefektur Kanagawa.
Kedua fasilitas ini dijalankan oleh anak usaha Nissan Shatai Co dan menyumbang sekitar 30% dari total produksi domestik perusahaan. Oppama selama ini dikenal sebagai pusat produksi kendaraan listrik seperti Leaf dan Note, sementara Hiratsuka fokus pada kendaraan komersial.
Secara global, restrukturisasi ini tak kalah drastis. Nissan berpotensi menghentikan operasi di Meksiko, India, Argentina, dan Afrika Selatan. Jika benar-benar terlaksana, ini akan menjadi salah satu gelombang penutupan fasilitas terbesar dalam sejarah perusahaan tersebut.
Pernyataan resmi dari pihak Nissan sendiri masih bersifat defensif. Mereka menyebut kabar penutupan pabrik sebagai “spekulasi” yang tidak berasal dari internal perusahaan.
Namun, pernyataan semacam ini sering kali menjadi pola standar korporasi besar ketika menghadapi kebocoran informasi strategis sebelum keputusan final diumumkan secara publik.
Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar? Restrukturisasi ini bukanlah sekadar strategi efisiensi biasa. Nissan sedang berupaya menyelamatkan dirinya dari jurang kejatuhan lebih dalam.
Laporan keuangan menunjukkan kerugian tahunan terbesar dalam beberapa tahun terakhir, mendorong perusahaan menetapkan target penghematan hingga ¥500 miliar.
Untuk mencapainya, Nissan akan memangkas hingga 20.000 pekerja secara global—sebuah angka yang mengindikasikan betapa seriusnya keadaan.
Di balik krisis ini, ada faktor eksternal dan internal yang saling berkaitan. Persaingan dengan produsen kendaraan listrik asal China yang agresif dan inovatif membuat posisi Nissan kian terdesak. Di pasar Amerika Serikat, produk-produk Nissan dinilai kurang relevan, sementara beban insentif dealer dan utang terus membengkak.
Kegagalan rencana merger dengan Honda Motor Co awal tahun ini pun menjadi pukulan strategis. Aliansi itu diyakini bisa memperkuat posisi kedua perusahaan dalam menghadapi tekanan global.
Namun, gagal disepakatinya kerja sama tersebut malah berujung pada pergantian kepemimpinan. Ivan Espinosa, yang kini menjabat sebagai CEO sejak April, mengklaim bahwa Nissan masih bisa bertahan tanpa dukungan eksternal.
“Apa yang kami lakukan adalah mengatur ulang skala perusahaan,” ujar Espinosa dalam wawancara terkini. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa Nissan ingin memfokuskan kembali bisnisnya ke inti yang lebih ramping dan efisien.
Namun, perlu dicatat: menutup pabrik besar seperti Oppama, yang berkapasitas 240.000 unit kendaraan listrik per tahun, bukanlah keputusan ringan. Bila benar terjadi, ini akan menjadi penutupan pabrik domestik pertama sejak tahun 2001 bagi Nissan.
Dampaknya tidak hanya terasa bagi perusahaan, tapi juga terhadap ribuan pekerja, rantai pasok lokal, serta kepercayaan publik terhadap masa depan industri otomotif Jepang.
Restrukturisasi seperti ini memang kadang diperlukan demi kelangsungan bisnis jangka panjang, tetapi risikonya besar—baik secara ekonomi maupun sosial.
Nissan berada di persimpangan jalan: apakah langkah-langkah ini cukup untuk membalikkan keadaan, atau justru menjadi awal dari penurunan lebih jauh?
Di tengah perubahan arah industri menuju elektrifikasi dan digitalisasi, Nissan harus melakukan lebih dari sekadar memangkas biaya; mereka perlu menemukan kembali identitas dan keunggulan kompetitifnya.
0Komentar