![]() |
Negosiasi gencatan senjata berlangsung di Doha, namun serangan brutal Israel di Gaza terus menewaskan warga sipil dan memperburuk krisis kemanusiaan. (REUTERS/Mahmoud Isaa) |
Krisis di Jalur Gaza kembali memanas di tengah upaya terbaru untuk mencapai gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Pada Sabtu, 17 Mei 2025, kedua pihak duduk di meja perundingan di Doha, Qatar, sementara di saat yang sama, serangan militer Israel terus menggempur wilayah Gaza tanpa henti. Harapan akan perdamaian tampak kontras dengan kenyataan di lapangan yang dipenuhi kehancuran dan penderitaan warga sipil.
Dalam 72 jam terakhir, laporan dari Kementerian Kesehatan Palestina mencatat ratusan korban jiwa. Pada Sabtu saja, sedikitnya 146 orang tewas dan 459 luka-luka.
Banyak dari korban yang masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan yang runtuh akibat serangan udara. Rumah sakit pun tak luput dari dampaknya. Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara, salah satu fasilitas medis utama di wilayah tersebut, menghadapi situasi yang sangat kritis.
Kepala rumah sakit, Marwan Al-Sultan, menggambarkan kondisi yang terjadi sebagai bencana total. Tenaga medis kewalahan, pasokan obat-obatan habis, dan pasien terus berdatangan tanpa henti.
Sementara itu, Israel meluncurkan operasi militer baru yang dinamai Operation Gideon's Chariots. Operasi ini bertujuan untuk merebut wilayah-wilayah penting di Gaza dan memukul mundur kekuatan militer Hamas.
Target utama operasi mencakup Beit Lahiya, Jabalia, dan Khan Younis. Di tengah rentetan serangan ini, suara-suara dari warga sipil Gaza menggambarkan penderitaan yang mendalam.
“Mereka memperlakukan kami seolah-olah kami bukan manusia,” kata Imad Naseer, salah satu warga yang selamat dari gempuran.
Situasi kemanusiaan diperparah dengan kebijakan Israel yang sejak awal Maret telah menghentikan seluruh pasokan logistik ke Gaza. Pemutusan pasokan ini mengarah pada krisis kelaparan massal yang mengancam 2,3 juta penduduk. Kelangkaan makanan, air bersih, dan obat-obatan kini menjadi bagian dari keseharian warga.
Pilihan Editor:
Kecaman terhadap tindakan Israel datang dari berbagai penjuru dunia. Presiden Mesir, Abdel-Fatah al-Sisi, menuduh Israel melakukan upaya pemusnahan terhadap rakyat Palestina.
Sementara itu, laporan dari NBC News mengungkap rencana pemerintahan Trump di masa lalu yang diduga ingin merelokasi satu juta warga Palestina ke Libya. Rencana ini ditolak keras oleh seluruh faksi politik Palestina dan dikecam sebagai bentuk pembersihan etnis terselubung.
Perang yang telah berlangsung selama 19 bulan ini telah menewaskan lebih dari 53.000 orang dan menyebabkan hampir seluruh penduduk Gaza kehilangan tempat tinggal.
Fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah hancur atau tidak dapat digunakan lagi. Rumah Sakit Indonesia dan fasilitas serupa telah menjadi sasaran serangan berulang kali, menunjukkan betapa rentannya sektor medis di tengah konflik ini.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa negaranya berencana memperluas operasi militer dan bahkan tidak menutup kemungkinan pendudukan penuh atas Gaza.
Langkah ini dianggap sebagai upaya akhir untuk menghancurkan kekuatan Hamas yang dituding sebagai dalang dari serangan 7 Oktober 2023.
Sementara dunia menunggu hasil dari negosiasi di Doha, Gaza terus berdarah. Gencatan senjata masih menjadi harapan yang rapuh di tengah deru rudal dan raungan ambulans. Tanpa tindakan konkret dan segera, penderitaan rakyat Palestina dipastikan akan terus berlanjut tanpa akhir yang jelas.
0Komentar