Fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir di wilayah Iran (Foto: AP Photo/Mehr News Agency, Majid Asgaripour, Arsip)."

Ketegangan dalam perundingan nuklir antara Iran dan Amerika Serikat kembali memuncak, menyusul pernyataan tegas dari pejabat tinggi kedua negara mengenai isu pengayaan uranium. Dalam situasi yang semakin pelik, kedua belah pihak tampaknya masih berjauhan dalam hal kompromi, terutama menyangkut hak Iran untuk melanjutkan aktivitas nuklirnya.

Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Majid Takhtavanchi, memperingatkan bahwa negosiasi nuklir tidak akan menghasilkan solusi apa pun jika Washington tetap memaksakan tuntutan untuk menghentikan total pengayaan uranium oleh Teheran. 

Ia menyebut langkah tersebut sebagai "garis merah" yang tidak akan dilewati Iran karena menyangkut kedaulatan dan prestasi nasional negara itu dalam bidang teknologi nuklir.

Pernyataan ini datang sebagai tanggapan terhadap pernyataan Steve Witkoff, utusan khusus AS untuk Timur Tengah, yang dalam wawancara dengan stasiun televisi ABC menyatakan bahwa kesepakatan baru dengan Iran hanya mungkin terjadi jika Teheran sepenuhnya menghentikan kemampuan pengayaan uraniumnya. 

Witkoff bahkan menegaskan bahwa AS "tidak akan menerima bahkan satu persen pun" dari kemampuan pengayaan tersebut.

Di sisi lain, Iran menolak keras syarat tersebut. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyebut tuntutan AS tidak masuk akal dan menegaskan bahwa Iran akan tetap memperkaya uranium, baik ada kesepakatan atau tidak. 

Pernyataan ini memperlihatkan sikap konsisten Iran dalam mempertahankan program nuklirnya, yang menurut klaim resmi ditujukan untuk kepentingan damai seperti energi dan riset medis.

Presiden AS Donald Trump, dalam kunjungan terbarunya ke kawasan Teluk, menyebut bahwa kesepakatan dengan Iran "sudah dekat", namun mendesak Teheran untuk mengambil langkah nyata secepatnya. 

Ini menarik, mengingat Trump sendiri pada masa jabatan sebelumnya (2017–2021) adalah sosok yang menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 dan kembali menjatuhkan sanksi berat terhadap negara tersebut. Keputusan itu memicu reaksi keras dari Iran, yang membalas dengan meningkatkan level pengayaan uraniumnya.

Melihat dinamika ini, tampaknya kedua negara masih terjebak dalam logika negosiasi yang saling menegasikan kepentingan satu sama lain. AS ingin menjamin Iran tidak membangun senjata nuklir, 

sementara Iran ingin menjaga martabat nasional dengan mempertahankan hak atas teknologi nuklir, sekalipun kontroversial. Jalan tengahnya bisa jadi terletak bukan pada pelarangan total, tapi pada transparansi dan pengawasan internasional yang lebih ketat. 

Namun, selama masing-masing pihak tetap bertahan pada garis keras, kesepakatan apa pun masih terasa jauh dari kenyataan.