Industri China tetap tumbuh meski ekonomi diguncang krisis properti, konsumsi lesu, dan tekanan eksternal. (Xinhua/Fan Yuqing)

Data terbaru dari Biro Statistik Nasional (NBS) China menunjukkan perekonomian terbesar kedua dunia itu masih bertahan di tengah tekanan eksternal dan internal. Produksi industri China tumbuh 6,1% pada April 2025 (year-on-year/YoY), melampaui proyeksi Bloomberg sebesar 5,7%. Namun, angka ini lebih rendah dibandingkan lonjakan 7,7% pada Maret, menandakan perlambatan yang patut dicermati.

Meski sektor industri menunjukkan ketahanan, konsumsi domestik justru menjadi titik lemah. Penjualan ritel hanya naik 5,1% (YoY), di bawah ekspektasi 5,8% dan lebih rendah dari capaian Maret (5,9%). 

Angka ini mencerminkan kehati-hatian konsumen akibat ketidakpastian ekonomi dan pasar tenaga kerja yang belum sepenuhnya pulih.

NBS dalam pernyataannya mengakui adanya "situasi kompleks dengan guncangan eksternal yang meningkat serta tantangan dan kesulitan internal yang bertumpuk." 

Salah satu faktor eksternal yang memengaruhi adalah ketegangan dagang dengan AS, meskipun kedua negara sepakat mengurangi tarif impor selama 90 hari—langkah yang diharapkan bisa mencegah resesi global.

Krisis properti terus membayangi pemulihan ekonomi China. Data NBS menunjukkan harga rumah baru turun di 67 dari 70 kota yang dipantau, menandakan kepercayaan konsumen terhadap sektor ini masih rendah. Padahal, sebelumnya properti menjadi salah satu pilar utama pertumbuhan China.

"Sektor properti kini menjadi sumber ketidakpastian besar," tulis sebuah analisis, menggarisbawahi dampaknya terhadap pendapatan pemerintah daerah dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pemulihan di sektor ini akan menjadi kunci bagi stabilitas jangka panjang.

Di tengah tantangan tersebut, ada sedikit kabar baik: tingkat pengangguran turun dari 5,2% (Maret) menjadi 5,1% (April). Meski penurunannya kecil, ini memberikan "sedikit ruang optimisme" bahwa pasar tenaga kerja mulai stabil.

Zhiwei Zhang, Presiden dan Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management, menyatakan, "Sekarang tarif sudah dikurangi secara signifikan, saya memperkirakan ekspor akan tetap kuat. Momentum ekonomi pada kuartal kedua kemungkinan akan tetap stabil."

Pertumbuhan industri yang tetap kuat menunjukkan ketahanan basis manufaktur China. Namun, ketergantungan pada ekspor dan investasi infrastruktur tidak lagi cukup. Konsumsi domestik yang lesu dan krisis properti adalah dua tantangan struktural yang harus segera diatasi.

Jika China ingin mempertahankan momentum pemulihan, pemerintah perlu merangsang belanja rumah tangga melalui insentif fiskal dan memperkuat jaring pengaman sosial untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. 

Di sisi lain, reformasi sektor properti—termasuk restrukturisasi developer yang bermasalah—harus menjadi prioritas.

Dengan tekanan eksternal seperti perang dagang dan ketidakpastian global, kebijakan ekonomi China dalam beberapa bulan ke depan akan menentukan apakah negeri itu bisa kembali ke jalur pertumbuhan tinggi—atau justru terjebak dalam stagnasi.