![]() |
Negosiasi nuklir antara Iran dan Amerika Serikat kembali mengalami kebuntuan pada putaran keempat. (Office of the Iranian Supreme Leader/WANA (West Asia News Agency)/Handout via REUTERS) |
Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat dalam perundingan nuklir terbaru menunjukkan tanda-tanda kebuntuan yang semakin nyata. Empat putaran perundingan yang telah berlangsung sejak April 2025 belum mampu menyentuh akar persoalan, apalagi menghasilkan terobosan. Di tengah ketidakpastian ini, suara keraguan mulai terdengar dari level tertinggi pemerintahan Iran.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, secara terbuka menyuarakan ketidakyakinannya terhadap potensi keberhasilan dialog yang tengah berlangsung.
Dalam pidatonya untuk mengenang mendiang Presiden Ebrahim Raisi, Khamenei mengisyaratkan bahwa harapan terhadap hasil konkret dari perundingan dengan Washington nyaris sirna.
Pernyataan tersebut mencerminkan sentimen luas di kalangan elite Iran: bahwa diplomasi semata tidak cukup untuk melunakkan tuntutan Amerika yang dianggap terlalu ekstrem, terutama menyangkut isu pengayaan uranium.
Jantung perdebatan terletak pada satu isu: pengayaan uranium. AS menggarisbawahi bahwa pengayaan uranium, dalam bentuk apa pun, merupakan ancaman yang tidak bisa ditoleransi.
Steve Witkoff, utusan khusus AS untuk Timur Tengah, bahkan menyebut bahwa mereka tidak akan menerima “bahkan satu persen” dari kemampuan pengayaan Iran.
Di mata Teheran, tuntutan semacam ini bukan hanya tidak masuk akal, tetapi juga menyinggung martabat nasional. Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi tidak ragu menyebut posisi AS sebagai “tidak realistis”, dan menegaskan bahwa Iran tidak akan mengorbankan hak nuklirnya, apa pun harga diplomatiknya.
Sikap Iran yang teguh bukan hanya soal teknis nuklir, tetapi juga simbol dari perlawanan terhadap tekanan luar. Sejak keluarnya AS dari JCPOA di bawah Donald Trump pada 2018, Iran merasa dikhianati dan tidak lagi melihat komitmen Washington sebagai sesuatu yang dapat dipercaya.
Maka tidak mengejutkan jika Wakil Menlu Majid Takhtravanchi secara gamblang menyatakan bahwa negosiasi akan gagal total jika AS terus memaksakan penghentian pengayaan uranium.
Perundingan ini jelas lebih dari sekadar teknis diplomasi. Ia adalah cermin dari ketidakpercayaan mendalam yang dibentuk oleh sejarah panjang konflik dan intervensi.
Ketika satu pihak bersikeras pada nol toleransi terhadap pengayaan, dan pihak lain melihat pengayaan sebagai hak kedaulatan yang tak bisa ditawar, maka kita tidak sedang menyaksikan dialog, melainkan duel posisi ideologis.
Ironisnya, pernyataan Trump bahwa kesepakatan “sudah sangat dekat” justru terasa kosong di tengah realitas kebuntuan di meja perundingan. Retorika semacam itu hanya memperlihatkan jarak antara narasi politik dan kondisi faktual.
Dengan skeptisisme terbuka dari Khamenei dan tidak adanya sinyal fleksibilitas dari kedua belah pihak, kemungkinan tercapainya kesepakatan dalam waktu dekat sangat tipis.
Bahkan, jika putaran kelima perundingan benar-benar terlaksana di Eropa nanti, besar kemungkinan hanya akan menjadi ajang pengulangan argumen tanpa hasil nyata.
Jika kedua pihak tidak menggeser pendekatan mereka dari tekanan dan absolutisme ke arah kompromi yang konstruktif, maka perundingan ini hanya akan memperpanjang kebuntuan, dan dunia akan terus hidup dalam bayang-bayang ketegangan nuklir yang tak kunjung reda.
0Komentar