Indonesia punya peluang besar untuk swasembada gula dan energi sekaligus. Lewat peremajaan tebu, varietas unggul, dan bioetanol, RI siap mandiri dari ladang sendiri. (Bloomberg)

Di tengah urgensi ketahanan pangan dan energi, Indonesia kembali menoleh pada komoditas lama yang dulu pernah mengharumkan namanya di panggung dunia: tebu. Tanaman manis ini bukan hanya kunci untuk menutup defisit gula nasional, tetapi juga menjadi harapan baru dalam mendorong kemandirian energi melalui bioetanol.

Transformasi besar sedang berlangsung, dengan BUMN melalui PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) mengambil peran sentral dalam mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi sektor tebu. 

Namun, seperti ladang yang butuh lebih dari sekadar benih untuk menghasilkan panen, ambisi swasembada ini pun menuntut lebih dari sekadar niat baik.

Salah satu batu sandungan terbesar yang selama ini membatasi peran petani dalam rantai produksi adalah minimnya akses pembiayaan. Langkah pemerintah Jawa Timur melalui skema KUR Khusus dengan bunga ringan 6% merupakan angin segar, meski datang agak terlambat. 

Peremajaan kebun tebu dan penggantian varietas rendah produktivitas seharusnya sudah dimulai sejak dekade lalu, saat ketergantungan impor mulai mencemaskan.

Namun lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Insentif pembiayaan ini diharapkan bisa menjadi pemantik bagi petani untuk berani berinvestasi pada bibit unggul, teknologi tanam, dan manajemen pertanian modern.

Peningkatan rendemen dari 7% menjadi 8–9% mungkin terdengar seperti angka kecil di atas kertas, tetapi dalam skala nasional, itu berarti ratusan ribu ton tambahan gula. 

Tantangannya: sebagian besar petani masih menanam varietas lama yang tak sesuai dengan kebutuhan masa kini. Masalah ini bukan sekadar soal ketersediaan bibit unggul, tetapi juga soal literasi teknologi dan pendampingan agronomis yang minim.

Dalam konteks ini, SGN bersama lembaga riset dan pemerintah perlu menciptakan sistem yang mendukung adopsi teknologi secara luas dan merata—bukan hanya di sentra-sentra tebu besar, tetapi juga di daerah dengan potensi tersembunyi.

Kenaikan produksi gula nasional sebesar 10% pada 2024 dan kontribusi 30% peningkatan dari SGN sejak 2023 memang patut diapresiasi. 

Namun, kita harus jujur: basis awal yang rendah membuat capaian ini tampak lebih spektakuler dari yang sebenarnya. Rata-rata nasional yang masih 5 ton gula per hektar kontras tajam dengan produktivitas di Jawa Timur yang mencapai 13 ton.

Ketimpangan ini memperlihatkan potensi besar sekaligus PR berat. Swasembada bukan soal membanggakan satu provinsi, tetapi soal bagaimana membuat seluruh daerah penghasil tebu berlari sejajar.

Lebih dari sekadar manisnya gula, tetes tebu menyimpan potensi lain yang tak kalah strategis: bioetanol. Kerja sama SGN dengan Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) untuk membangun pabrik bioetanol di Banyuwangi adalah langkah cerdas yang patut diperluas. 

Namun, kita perlu bersikap realistis—keberhasilan proyek ini tak bisa hanya dinilai dari keberhasilan konstruksi dan produksi, melainkan juga dari kesiapan rantai pasok, insentif pasar, dan ekosistem kebijakan.

 

Tanpa konsistensi dan keberlanjutan program, bioetanol bisa saja menjadi “gula kedua” yang potensinya besar tapi gagal dimanfaatkan optimal seperti sejarah pahit tebu sebelumnya.

Indonesia pernah menjadi raksasa gula dunia pada 1930-an—dan ironisnya, menjadi pengimpor besar sejak 1967. Dua kutub sejarah ini menunjukkan bahwa kejayaan bisa hilang jika tak dikelola dengan visi jangka panjang. 

Kini, dengan kolaborasi antara pemerintah, BUMN, petani, dan institusi riset, kita memiliki peluang untuk tidak sekadar bernostalgia, tetapi membangun ulang fondasi industri berbasis tebu yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan.