![]() |
AKSI menolak proyek penulisan ulang sejarah nasional oleh Kementerian Kebudayaan. Kritik menyasar risiko monopoli tafsir sejarah dan potensi desoekarnoisasi. (Pixbay) |
Proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan kembali menuai sorotan tajam. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR RI pada 19 Mei 2025, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyatakan penolakan tegas.
Bagi AKSI, proyek ini bukan sekadar pembaruan dokumen sejarah, tetapi sebuah upaya sistematis untuk memonopoli ingatan kolektif bangsa.
"Ini bukan soal menulis ulang, ini soal siapa yang berhak menentukan kebenaran sejarah," ujar Marzuki Darusman, Ketua AKSI.
Di balik kalimat itu tersembunyi kegelisahan yang lebih dalam: ketika negara memegang kendali tunggal atas penulisan sejarah, maka sejarah tak lagi menjadi ruang demokratis, melainkan arena legitimasi kekuasaan.
Sejarah tak pernah netral. Ia selalu berada dalam tarik-ulur kepentingan, baik yang bersifat akademik maupun politis. Karena itu, ketika negara turun tangan menulis versi resmi sejarah nasional, wajar jika muncul pertanyaan besar: sejarah untuk siapa, dan demi siapa?
AKSI menyebut proyek ini sebagai bentuk "rekayasa masa lalu", dan menyoroti risiko penggunaan sejarah sebagai alat untuk mengontrol pemikiran rakyat. Kritik ini bukan sekadar retorika oposisi; ia menggarisbawahi kegelisahan mendalam tentang masa depan narasi kebangsaan.
Kekhawatiran ini juga disuarakan oleh DPR, yang ternyata belum menerima penjelasan rinci dari pemerintah. Hetifah Sjaifudian dan Mercy Barends sama-sama menyatakan bahwa belum ada pemaparan resmi yang diberikan ke Komisi X.
Ini mengindikasikan minimnya transparansi dalam proyek sebesar ini, padahal sejarah adalah milik publik, bukan properti kementerian.
Narasi Desoekarnoisasi dan Luka Kolektif yang Belum Pulih
Bonnie Triyana, sejarawan sekaligus anggota DPR, memberi catatan tajam: proyek ini bisa saja mengulang pola lama, yakni desoekarnoisasi. Selama puluhan tahun, narasi sejarah Indonesia telah dikonstruksi dengan mengecilkan peran Presiden Soekarno, tokoh sentral dalam kemerdekaan bangsa.
"Soekarno bukan hanya milik PDIP, tapi milik seluruh rakyat Indonesia," kata Bonnie.
Dalam konteks ini, penulisan ulang sejarah bukan hanya menyangkut data dan kronologi, tapi juga tentang mengakui luka, membuka ruang dialog, dan menyusun kembali fondasi identitas bangsa dengan jujur.
Di Mana Letak Akuntabilitas Publik?
Ketua tim editor, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, menyebut bahwa penulisan telah mencapai 60% dan ditargetkan selesai sebelum 17 Agustus 2025. Namun, secepat itukah kita bisa menulis ulang sejarah bangsa yang begitu kompleks dan penuh konflik?
Ketergesaan dalam proyek ini patut dikritisi. Sejarah bukan laporan pembangunan yang dikejar deadline. Ia adalah refleksi kolektif yang harus dikaji dengan kerendahan hati dan keterbukaan wacana. Ketua DPR Puan Maharani pun mengingatkan agar proyek ini tidak terburu-buru, dan harus dilakukan dengan kehati-hatian.
Menolak Monopoli, Mendorong Pluralisme Sejarah
Penulisan sejarah nasional seharusnya menjadi ruang partisipatif, tempat berbagai suara —baik dari akademisi, masyarakat adat, aktivis, hingga korban pelanggaran HAM— mendapatkan tempat yang layak. Ini bukan hanya soal mencatat masa lalu, tapi tentang membentuk arah masa depan yang inklusif.
Dalam demokrasi yang sehat, sejarah tidak boleh dimonopoli. Tidak oleh negara, tidak oleh partai, tidak oleh siapa pun. Justru keberagaman tafsir adalah kekayaan, bukan ancaman.
Penolakan terhadap proyek ini bukan semata-mata penolakan terhadap ide penulisan ulang, tetapi terhadap cara, proses, dan niat yang tidak terbuka.
Sejarah sebagai Cermin Bangsa
Di tengah gelombang perubahan dan dinamika politik, Indonesia membutuhkan narasi sejarah yang tidak hanya faktual, tetapi juga adil dan manusiawi.
Penulisan ulang sejarah nasional hanya akan bernilai jika ia menjadi ruang bersama —bukan ruang kuasa— tempat bangsa ini bisa bercermin, belajar, dan bergerak maju.
Jika proyek ini ingin berhasil, maka syaratnya jelas: transparansi, partisipasi, dan penghormatan terhadap pluralitas. Tanpa itu, sejarah hanya akan menjadi monumen propaganda —sunyi, dingin, dan jauh dari rakyatnya.
0Komentar