![]() |
Chery dan BYD makin agresif di pasar otomotif Indonesia. Lewat teknologi PHEV dan harga terjangkau, mereka mulai geser dominasi brand Jepang yang puluhan tahun bertahan. (HIM) |
Pasar otomotif Indonesia mulai mengalami pergeseran besar. Jika selama ini dominasi merek jepang begitu kuat, kini merek-merek asal Tiongkok mulai menancapkan kuku mereka dengan cukup agresif. Hal ini terlihat dari data penjualan mobil bulan April 2025 yang menunjukkan dua brand China, yakni BYD dan Chery, berhasil masuk dalam delapan besar pabrikan terlaris di Tanah Air.
Fenomena ini menandai babak baru dalam kompetisi otomotif nasional. Strategi yang mereka usung pun cukup cerdas—mengisi celah yang selama ini belum digarap maksimal oleh brand lain, yakni di segmen kendaraan elektrifikasi.
BYD fokus pada pasar Battery Electric Vehicle (BEV), sedangkan Chery memilih jalur berbeda dengan membidik segmen Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV).
Langkah terbaru Chery adalah meluncurkan Tiggo 8 CSH, SUV hybrid yang langsung menyita perhatian karena banderol harganya yang cukup "menggoda". Untuk 1.000 pembeli pertama, harga mobil ini dipatok hanya Rp 499 juta, dan setelah itu naik menjadi Rp 519 juta. Sebuah angka yang kompetitif jika melihat kemampuan kendaraan ini.
Dengan kombinasi teknologi motor listrik dan mesin bensin, Tiggo 8 CSH diklaim sanggup menempuh jarak hingga 1.300 km dalam satu kali pengisian daya baterai serta pengisian penuh tangki bensin berkapasitas 51 liter.
Dalam kondisi optimal, jarak tersebut bahkan cukup untuk menempuh rute Jakarta–Bali tanpa perlu berhenti untuk isi ulang daya atau bensin.
Langkah ini jelas ingin menciptakan persepsi bahwa kendaraan elektrifikasi tak harus mahal dan merepotkan. Rifkie Setiawan, selaku Head of Brand Department PT Chery Sales Indonesia, menyebut bahwa pihaknya memang ingin menjadi pionir di segmen PHEV dengan harga yang terjangkau.
“Target kami adalah menguasai segmen PHEV di Indonesia. Kami hadir sebagai salah satu pelopor dengan teknologi mutakhir dan harga yang tergolong paling terjangkau di kelasnya,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (16/5/2025).
Jika dibandingkan dengan pesaing di kelas yang sama, seperti Mazda CX-80 PHEV, keunggulan Chery cukup mencolok. Mazda menawarkan daya jelajah sekitar 600 km saja—hanya setengah dari Tiggo 8 CSH—namun dengan harga yang jauh lebih tinggi, yaitu Rp 1,199 miliar.
Salah satu faktor yang membuat harga Tiggo 8 CSH bisa ditekan adalah proses perakitan lokal. Mobil ini sudah dirakit di fasilitas milik Handal Indonesia Motor (HIM), yang membuat statusnya sebagai CKD (completely knocked down). Sebaliknya, model seperti CX-80 masih didatangkan secara utuh dari luar negeri alias CBU (completely built-up).
“Ini PHEV pertama yang dirakit lokal, sedangkan produk lain masih impor. Itulah kenapa harga mereka jauh lebih tinggi,” tambah Rifkie.
Selain itu, Chery juga tengah mengejar insentif dari pemerintah berupa potongan pajak sebesar 3% bagi mobil hybrid yang memenuhi persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40%. Jika target ini tercapai, bukan tak mungkin harga mobil ini bisa ditekan lebih jauh lagi.
“Sekarang kami sedang berusaha penuhi regulasi itu. Ada banyak hal yang harus disesuaikan, dan semuanya sedang dalam proses,” ujar Rifkie.
Jika melihat strategi mereka secara keseluruhan, tampak jelas bahwa merek-merek otomotif Tiongkok datang ke Indonesia bukan sekadar coba-coba. Mereka membawa misi besar: menggeser dominasi merek Jepang yang sudah bercokol selama lebih dari 60 tahun di pasar otomotif nasional.
“Pasar Indonesia ini sudah sangat lama dikuasai oleh brand-brand tertentu. Jadi, untuk masuk ke pasar ini kami butuh usaha lebih. Karena itu, strategi kami adalah menawarkan sesuatu yang superior tapi dengan harga terjangkau,” ujar Rifkie lebih lanjut.
Chery menyebut pendekatannya sebagai harga edukasi—yaitu strategi harga yang dibuat semurah mungkin untuk mengenalkan teknologi kepada konsumen. Harapannya, konsumen akan mulai terbuka pada pilihan-pilihan baru di luar dominasi merek Jepang.
Langkah agresif pabrikan China ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam waktu singkat, mereka berhasil memanfaatkan celah yang ditinggalkan oleh kompetitor besar, terutama dalam hal elektrifikasi dan efisiensi biaya.
Sementara brand Jepang tampak lebih hati-hati dan konservatif dalam mengadopsi teknologi baru, brand seperti BYD dan Chery justru tampil sebagai disruptor.
Dalam konteks ini, konsumen jelas diuntungkan. Mereka kini memiliki alternatif baru dengan fitur canggih, jarak tempuh luar biasa, dan harga yang masuk akal.
Namun, tantangan jangka panjang tetap ada: bagaimana layanan purnajual, jaringan servis, dan ketersediaan suku cadang bisa mengikuti pertumbuhan cepat tersebut.
Jika Chery dan BYD mampu menjawab tantangan ini, bukan tidak mungkin kita akan melihat revolusi kecil di jalanan Indonesia—di mana dominasi puluhan tahun merek Jepang mulai terkikis secara perlahan namun pasti.
0Komentar