![]() |
Sell in May and Go Away adalah strategi musiman yang dipercaya investor global untuk menghindari penurunan pasar saham. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto) |
Di dunia investasi, khususnya pasar saham, ada ungkapan yang cukup dikenal: "Sell in May and go away." Istilah ini kerap dikaitkan dengan kecenderungan pasar yang melemah di bulan Mei. Namun, versi lengkap dari pepatah ini adalah "Sell in May and go away; don’t come back until St. Leger’s Day." Asal-usulnya berasal dari Inggris, di mana para bangsawan, pedagang, dan bankir akan pergi berlibur ke pedesaan selama musim panas.
St. Leger's Day sendiri merujuk pada ajang balap kuda ketiga dalam The English Triple Crown yang berlangsung setiap bulan September. Tradisi ini lambat laun menjadi pola musiman yang diamati para pelaku pasar keuangan.
Meskipun awalnya populer di Inggris, konsep ini mulai diperhatikan oleh investor Amerika Serikat setelah era Perang Dunia II. Gagasan utamanya adalah bahwa periode Mei hingga Oktober cenderung menghasilkan kinerja pasar yang lebih lemah dibandingkan November hingga April. Fenomena ini dikenal juga dengan sebutan "Halloween Indicator" atau "Halloween Effect."
Data dari Investopedia menunjukkan bahwa antara tahun 1950 hingga 2013, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) mencatat rata-rata imbal hasil hanya 0,3% pada periode Mei–Oktober. Bandingkan dengan rata-rata 7,5% pada bulan-bulan November–April, menurut sebuah kolom di Forbes pada tahun 2017.
Walau penyebab pastinya tidak diketahui secara pasti, rendahnya aktivitas perdagangan saat musim liburan serta meningkatnya arus dana di musim dingin sering dijadikan alasan pendukung. Namun, menurut analisis dari Bank of America Merrill Lynch, periode Juni–Agustus justru menjadi salah satu fase terbaik pasar dalam setahun jika dilihat dari data sejak 1928. Bahkan beberapa laporan terbaru menyebutkan bahwa pola ini sudah tak lagi berlaku mutlak.
Sebuah artikel dari Investor’s Business Daily mencatat bahwa investor yang menjual sahamnya pada Mei 2016 justru melewatkan peluang kenaikan harga yang terjadi sesudahnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Di pasar modal Tanah Air, fenomena ini juga diamati, meskipun polanya tidak selalu konsisten. Selama satu dekade terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memang cenderung melemah di bulan Mei, kecuali pada 2015 dan 2020 ketika justru terjadi penguatan. Namun, jika ditinjau dari rentang Mei hingga Oktober, tren positif IHSG ternyata lebih dominan.
Direktur Panin Asset Management, Rudiyanto, menyampaikan bahwa tingkat akurasi prinsip "Sell in May" di Indonesia hanya sekitar 38%. Artinya, dari 21 tahun pengamatan, hanya 8 kali pola ini benar-benar terjadi. Sebaliknya, teori lanjutan yang berbunyi "Buy in November" justru lebih sering terbukti akurat dalam konteks pasar domestik.
Menurut analisis CNBC Indonesia, IHSG yang sempat menguat pada Maret–April 2025 bisa saja memasuki fase konsolidasi atau istirahat di bulan Mei. Ini sejalan dengan sejumlah sentimen negatif yang membayangi, termasuk tekanan global dari kebijakan ekonomi Amerika Serikat.
Pada kuartal pertama 2025, ekonomi AS mengalami kontraksi sebesar 0,3% akibat lonjakan impor setelah Presiden Donald Trump memulai periode keduanya dengan kebijakan tarif baru. Penurunan ini menjadi yang pertama sejak awal 2022. Di sisi lain, belanja konsumen yang melambat dan berkurangnya anggaran federal turut menekan laju pertumbuhan.
Situasi ini memberikan sinyal campuran bagi The Federal Reserve yang akan menggelar pertemuan kebijakan minggu depan, di mana kemungkinan penurunan suku bunga masih menjadi perdebatan, apalagi di tengah kekhawatiran inflasi.
0Komentar