![]() |
Foto: Emas batangan. (AP Photo) |
Harga emas terus meroket seiring meningkatnya permintaan global, terutama dari negara-negara dengan cadangan devisa besar seperti China. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, China muncul sebagai salah satu pembeli emas terbesar di dunia, terutama selama masa-masa krisis.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Dalam situasi ekonomi yang penuh tekanan, emas dianggap sebagai aset yang relatif stabil. Ketika nilai mata uang dan aset lain melemah, emas cenderung mempertahankan nilainya. Itulah mengapa pemerintah China, yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia—sebagian besar dalam bentuk dolar AS—memilih emas untuk menjaga stabilitas kekayaan nasional dan mengurangi ketergantungan pada dolar.
Strategi ini juga bagian dari upaya China untuk memperkuat posisi dalam sistem keuangan global yang kian multipolar, di mana emas kembali memainkan peran penting sebagai tolok ukur kepercayaan dan stabilitas ekonomi.
Berikut ini adalah catatan pembelian emas signifikan oleh China pada masa-masa krisis:
2009: Respons terhadap Krisis Global 2008
Pada 2009, menyusul krisis keuangan global 2008 yang dipicu oleh krisis subprime mortgage di AS, China menambah cadangan emasnya sebesar 454,1 ton. Krisis ini disebut sebagai yang terburuk dalam delapan dekade terakhir dan berdampak luas terhadap ekonomi global, termasuk penurunan ekspor China dan perlambatan pertumbuhan ekonomi domestiknya. Pemerintah merespons dengan stimulus besar-besaran, dan pembelian emas menjadi bagian dari strategi mitigasi risiko.
2015–2016: Krisis Yunani dan Gejolak Pasar Saham
Setelah enam tahun tidak melakukan pembelian besar, China kembali aktif di pasar emas. Pada 2015, China membeli 708,2 ton emas, lalu menambah 80,2 ton lagi pada 2016. Ini terjadi di tengah krisis utang Yunani yang gagal membayar kewajibannya kepada IMF.
Ketidakstabilan tersebut juga menular ke pasar global, termasuk bursa saham China yang kehilangan lebih dari US$3 triliun nilai pasar. Emas kembali dipilih sebagai lindung nilai.
2019: Antisipasi Dampak Pandemi
Menjelang pandemi Covid-19, China membeli 95,8 ton emas pada 2019. Langkah ini terkesan antisipatif terhadap potensi tekanan ekonomi global akibat wabah yang saat itu mulai menyebar. Saat pandemi meletus pada 2020, kebijakan lockdown global menyebabkan krisis produksi dan konsumsi, yang kemudian dikenal sebagai “The Great Lockdown” oleh IMF.
2022–2024: Inflasi Global dan Gejolak Geopolitik
Tahun 2022 diwarnai oleh kombinasi krisis energi, inflasi tinggi, dan konflik geopolitik seperti invasi Rusia ke Ukraina. Kenaikan harga energi dan suku bunga oleh The Fed mendorong kekhawatiran resesi global. Dalam situasi ini, China kembali membeli emas—62,2 ton pada 2022, kemudian meningkat tajam menjadi 224,9 ton pada 2023, dan 44,2 ton pada 2024.
Kondisi ekonomi global yang tidak menentu, mulai dari pandemi, konflik geopolitik, hingga tekanan inflasi dan resesi, mendorong negara-negara seperti China untuk memanfaatkan emas sebagai instrumen perlindungan nilai sekaligus alat diplomasi ekonomi dalam percaturan global.