Kebijakan Trump memicu deportasi mahasiswa asing. Hong Kong buka peluang transfer bagi mahasiswa Harvard dan kampus AS lainnya.(exeter.ac.uk)

Pemerintahan Presiden Donald Trump kembali mengundang sorotan tajam dari berbagai penjuru dunia setelah mengumumkan kebijakan baru yang membatasi keberadaan mahasiswa asing di Amerika Serikat. 

Melalui Departemen Keamanan Dalam Negeri, pemerintah melarang universitas-universitas tertentu, termasuk Harvard, menerima mahasiswa internasional, bahkan memaksa yang sudah terdaftar untuk pindah kampus atau menghadapi deportasi. 

Alasan yang dikemukakan adalah tuduhan bahwa kampus-kampus elite tersebut mempromosikan kekerasan, anti-Semitisme, dan memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis China—meski tidak disertai bukti rinci.

Langkah ini segera menuai kecaman luas, terutama dari kalangan akademisi AS sendiri yang menilai kebijakan ini tidak hanya rasialis, tetapi juga menghancurkan reputasi pendidikan tinggi AS yang selama ini dibangun atas dasar keragaman dan keterbukaan. 

Di Harvard, sekitar 27 persen dari total mahasiswa berasal dari luar negeri. Dari 6.800 mahasiswa internasional yang terdaftar untuk tahun akademik 2025–2026, sebanyak 1.300 berasal dari China, menjadikan mereka kelompok terbesar setelah warga negara AS.

Menanggapi kebijakan tersebut, Harvard menolak menyerahkan data visa mahasiswa kepada pemerintah dan langsung menggugat keputusan itu ke pengadilan federal. 

Gugatan ini mendapat respons cepat dari Pengadilan Distrik Massachusetts, yang mengeluarkan putusan sementara untuk menangguhkan pelaksanaan kebijakan hingga sidang lanjutan pada 29 Mei 2025. 

Dalam putusannya, Hakim Allison Burroughs menyatakan bahwa pemerintah dilarang mencabut sertifikasi SEVP (Student and Exchange Visitor Program) dari Harvard.

Di dalam kampus, suasana semakin memanas. Sejumlah dosen mengancam akan mogok mengajar jika mahasiswa asing benar-benar dideportasi. Solidaritas juga datang dari berbagai universitas top di AS, memperlihatkan bahwa isu ini telah menyentuh titik sensitif dalam ekosistem pendidikan Amerika.

Sementara itu, dari sisi lain dunia, pemerintah Hong Kong menawarkan solusi nyata. Menteri Pendidikan Christine Choi secara terbuka meminta universitas di wilayahnya untuk bersiap menampung mahasiswa asing yang terdampak kebijakan Trump. 

Universitas Teknologi dan Sains Hong Kong (HKUST) secara resmi mengundang mahasiswa dari Harvard dan kampus-kampus AS lain untuk melanjutkan studi di sana. Mereka juga melonggarkan kuota mahasiswa internasional dan menjanjikan proses transisi akademik yang cepat dan adil. 

Dalam pernyataannya, HKUST menegaskan bahwa kesempatan ini diberikan untuk memastikan pelajar berbakat tetap dapat mengejar tujuan pendidikan mereka tanpa gangguan.

Respons internasional pun meluas. Pemerintah China mengecam kebijakan Trump sebagai diskriminatif dan menawarkan beasiswa darurat bagi warga negaranya yang terdampak. 

Di sisi lain, universitas-universitas di Kanada dan Australia mulai membuka program transfer khusus yang ditujukan untuk mahasiswa internasional dari AS, sebagai bagian dari upaya menjaga kesinambungan pendidikan mereka.

Kebijakan ini dinilai banyak pihak sebagai langkah yang bisa mengubah peta pendidikan global. Bukan hanya menimbulkan ketidakpastian bagi ribuan mahasiswa, tetapi juga berpotensi merusak citra AS sebagai tujuan utama pendidikan tinggi. 

Beberapa pengamat bahkan memperkirakan bahwa kebijakan ini bisa mempercepat pergeseran arus pelajar internasional ke Asia dan Eropa, terutama jika negara-negara tersebut lebih sigap dalam merespons dinamika global.

Seiring proses hukum yang terus berlangsung, dunia kini mencermati apakah Amerika Serikat masih bisa mempertahankan posisinya sebagai pusat pendidikan internasional, atau justru tengah membuka jalan bagi negara lain untuk mengambil alih peran tersebut.