![]() |
Pernyataan kontroversial anggota Kongres AS Randy Fine yang menyerukan pengeboman nuklir di Gaza memicu kecaman internasional. (Foto: Senat Florida via Wikimedia Commons) |
Di tengah ketegangan yang terus meningkat di Gaza, pernyataan kontroversial dari anggota Kongres Amerika Serikat, Randy Fine, menambah bahan bakar ke dalam api konflik. Dalam sebuah pernyataan yang menyulut kemarahan luas, Fine menyerukan penggunaan senjata nuklir terhadap Gaza, membandingkannya dengan serangan AS ke Hiroshima dan Nagasaki selama Perang Dunia II.
Retorika ini tak hanya menyinggung sensitivitas sejarah, tetapi juga memunculkan kekhawatiran mendalam tentang etika, hukum internasional, dan dampak psikologis terhadap komunitas global.
Fine, seorang anggota Partai Republik, menggambarkan perjuangan Palestina sebagai "kejahatan" dan mengklaim bahwa satu-satunya jalan keluar dari konflik adalah "penyerahan diri tanpa syarat" oleh mereka yang ia sebut mendukung "teror Muslim". Ia menyatakan:
"Dalam Perang Dunia II, kita tidak menegosiasikan penyerahan diri dengan Nazi... Kita menyerang Jepang dengan nuklir dua kali. Itu harus sama di sini."
Pernyataan ini tidak hanya ekstrem, tapi juga membingungkan secara historis dan strategis. Konflik Perang Dunia II merupakan konflik antar-negara yang melibatkan kekuatan militer konvensional dalam skala besar.
Sebaliknya, konflik Israel-Palestina bersifat asimetris, diwarnai oleh okupasi, perjuangan etno-nasionalis, dan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.
Pelanggaran Hukum Internasional?
Menurut Konvensi Genosida 1948 dan Protokol Tambahan Konvensi Jenewa, setiap tindakan yang dengan sengaja menargetkan populasi sipil—apalagi menggunakan senjata pemusnah massal—dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang atau bahkan genosida.
Seruan Fine secara eksplisit menyerukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional.
Ahli hukum internasional, Prof. Leila Haddad dari Universitas Georgetown, menilai bahwa pernyataan tersebut "secara moral tercela dan secara hukum berpotensi menjadi advokasi tindakan kriminal di bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional jika diwujudkan."
Reaksi dari Hamas dan Komunitas Muslim Amerika
Pernyataan Fine segera memicu kecaman dari berbagai pihak. Hamas menyebutnya sebagai "hasutan genosida" dan "bukti mentalitas fasis rasis yang menguasai sebagian elit politik AS". Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) bahkan menyatakan:
"Ini adalah salah satu pernyataan paling berbahaya dan tidak manusiawi yang pernah keluar dari mulut anggota Kongres AS."
CAIR menuntut agar Kongres mengambil tindakan etik terhadap Fine, serta memperingatkan bahwa retorika seperti ini dapat memicu kekerasan terhadap komunitas Muslim dan Arab di Amerika.
Retorika ekstrem seperti yang disampaikan oleh Fine memiliki dampak luas di luar ranah geopolitik. Dalam negeri, komunitas Muslim dan Arab-Amerika merasakan peningkatan kecemasan, merasa tidak hanya terpinggirkan, tetapi juga terancam oleh narasi yang menormalisasi kekerasan massal terhadap populasi sipil.
Penelitian dari Southern Poverty Law Center menunjukkan bahwa pernyataan politisi yang mengasosiasikan Islam dengan terorisme secara langsung berkorelasi dengan lonjakan insiden kebencian terhadap Muslim di AS.
Di lapangan, situasi Gaza mencapai titik nadir. Sejak Oktober 2023, lebih dari 52.000 warga Palestina tewas, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.
Kelaparan massal dan kerusakan total infrastruktur sipil memperparah penderitaan. Meskipun negosiasi gencatan senjata masih berlangsung, Israel melanjutkan operasi militernya, termasuk serangan darat ke wilayah Rafah.
Dalam konteks ini, seruan untuk "mengebom nuklir" bukan hanya tidak realistis secara militer, tetapi juga tidak manusiawi secara moral.
Dimana Posisi AS?
Pemerintah AS hingga saat ini belum mengeluarkan pernyataan resmi menanggapi seruan Fine. Namun, diamnya institusi negara terhadap retorika genosidal seperti ini dapat dianggap sebagai keterlibatan pasif.
Pertanyaan yang muncul: apakah ini hanya opini personal seorang anggota Kongres, atau mencerminkan sikap politik yang lebih luas di dalam tubuh Partai Republik?
Beberapa politisi Demokrat menyuarakan keprihatinan, namun tanggapan tegas—seperti sanksi etik atau pernyataan resmi Kongres—masih belum terdengar.
Retorika seperti Randy Fine bukan sekadar opini keras—ia adalah seruan eksplisit terhadap kehancuran total suatu populasi sipil.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi dan bergejolak, suara-suara dari lembaga demokrasi seperti Kongres AS seharusnya menjadi pelindung nilai-nilai kemanusiaan, bukan alat propaganda kekerasan.
Masyarakat internasional, termasuk warga negara AS, harus mempertanyakan: jika seorang wakil rakyat menyerukan genosida, siapa yang akan bertanggung jawab untuk menghentikannya?
0Komentar