Kesepakatan nuklir Iran-AS makin dekat, Netanyahu gagal pengaruhi Trump

.

Presiden AS Donald Trump bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Ruang Oval Gedung Putih di Washington, AS, 7 April 2025. (REUTERS/Kevin Mohatt)

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dikabarkan tengah mengupayakan dialog damai dengan Iran, sebuah langkah yang tampaknya bertolak belakang dengan pendekatan Israel. Sekutu utama AS di Timur Tengah itu justru menghendaki agar Iran tetap dijauhi secara diplomatik dan bahkan diserang secara militer.

Berdasarkan laporan Reuters, pertemuan antara utusan AS dan Iran yang berlangsung bulan lalu disebut mengejutkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Ia diketahui telah terbang ke Washington untuk menggalang dukungan dari Trump guna melancarkan serangan ke fasilitas nuklir Iran. Pertemuan itu sendiri disebut baru diketahui Netanyahu kurang dari sehari sebelum berlangsungnya agenda rahasia di Oman tersebut.

“Pihak Teheran masih sangat khawatir bahwa Netanyahu bisa saja melakukan serangan, baik dengan restu Washington maupun tidak,” ujar seorang pejabat keamanan senior Iran yang dikutip pada Sabtu (3/5/2025).

Dalam waktu tiga pekan terakhir, tercatat telah berlangsung tiga sesi pembicaraan antara AS dan Iran dengan tujuan utama mencegah pengembangan senjata nuklir oleh Teheran. Sebagai gantinya, Iran akan mendapatkan keringanan atas sejumlah sanksi. Putaran keempat negosiasi dijadwalkan segera dilangsungkan di Roma dalam waktu dekat.

Sejumlah diplomat menyampaikan bahwa kerangka awal yang sedang dirundingkan mengacu pada prinsip-prinsip utama dari perjanjian nuklir 2015 atau Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), yang sempat dibatalkan oleh Trump saat masa jabatan pertamanya.

Menurut sejumlah sumber, meski tampak mirip dengan kesepakatan lama, perjanjian baru ini akan berlaku hingga 25 tahun, memperketat sistem verifikasi, dan memperpanjang masa berlaku klausul penghentian bertahap terhadap bagian-bagian penting dari program nuklir Iran.

Dalam draf kesepakatan, Iran bersedia membatasi jumlah serta jenis sentrifugal yang dimiliki, dan setuju untuk mencairkan, mengirim keluar negeri, atau menyegel sekitar 60% dari stok uraniumnya. Semua proses itu akan dilakukan dengan pengawasan ketat dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), sebagai syarat bagi pencabutan sanksi ekonomi yang signifikan.

Dennis Ross, mantan perunding kebijakan luar negeri dari dua partai besar AS, menyebut bahwa kesepakatan baru harus menghadirkan reformasi struktural yang berkelanjutan terhadap kemampuan nuklir Iran. Salah satu opsinya adalah dengan memangkas infrastruktur nuklir negara itu hingga sedemikian rupa sehingga pengembangan bom nuklir tak lagi menjadi opsi realistis.

“Jika tidak sampai ke titik itu, ancaman senjata nuklir Iran tetap akan menjadi bayang-bayang konstan,” ujarnya.

Namun demikian, negosiasi menghadapi tantangan besar, terutama terkait kemampuan Iran dalam memperkaya uranium. Jika aktivitas ini dihentikan total, maka Iran akan tergantung pada pasokan luar negeri untuk menjalankan reaktor nuklir seperti yang ada di Bushehr.

“Iran menegaskan bahwa haknya untuk memperkaya uranium tidak bisa ditawar. Tapi jumlah cadangan, jenis sentrifus, dan kemungkinan pengiriman ke luar negeri masih dibicarakan,” kata tiga sumber Iran.

Sesuai dengan proposal yang tengah dibahas dalam pembicaraan bulan April, Iran akan membatasi pengayaan hanya sampai 3,67%. Selain itu, Teheran juga terbuka memberikan akses lebih luas bagi IAEA ke lokasi-lokasi nuklir yang sebelumnya sulit dijangkau.

Rencana ini tidak bertujuan untuk merobohkan seluruh infrastruktur nuklir Iran sebagaimana yang diinginkan Israel atau sebagian kalangan di AS, melainkan mengatur batasan jangka panjang pada pengayaan uranium agar pelanggaran tidak mudah terjadi di masa mendatang.

Alex Vatanka, peneliti senior yang juga direktur program Iran di Middle East Institute, Washington, menyampaikan bahwa salah satu opsi yang realistis bagi Iran adalah menerima klausul penghentian yang jauh lebih panjang terkait program nuklirnya.

“Kalau Iran bermain cerdas, mereka akan menyetujui klausul penghentian jangka panjang. Tapi yang paling penting, tiap pihak tetap harus bisa pulang dari perundingan sambil menyatakan kemenangan,” katanya.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama