Di tengah ancaman geopolitik, Norwegia membangkitkan kembali bunker bawah tanah sebagai strategi pertahanan menghadapi potensi agresi Rusia. (Alamy)

Norwegia, negeri dengan wilayah pegunungan luas dan populasi relatif kecil, menyimpan warisan bawah tanah dari masa silam yang kini kembali menjadi sorotan. Selama puncak Perang Dingin, negara ini membangun ribuan bunker militer rahasia, banyak di antaranya tersembunyi di balik gunung-gunung atau di dalam gua alami. 

Bangunan-bangunan tersebut dulunya dirancang sebagai tempat berlindung dan markas operasi jika terjadi serangan dari Uni Soviet. Kini, puluhan tahun kemudian, situasi global yang kembali memanas membuat Norwegia mempertimbangkan ulang nilai strategis bunker-bunker itu.

Dengan ketegangan yang meningkat akibat invasi Rusia ke Ukraina, perhatian Norwegia terhadap pertahanan wilayah utaranya meningkat tajam. Dua fasilitas militer yang dulunya dinonaktifkan kini kembali diaktifkan: pangkalan udara Bardufoss dan pangkalan angkatan laut Olavsvern. 

Lokasinya berada dekat perbatasan Rusia di dalam Lingkar Arktik, sebuah kawasan strategis dan rentan. Di sinilah, di dalam perut gunung yang dipahat sedalam ratusan meter, Norwegia menyimpan kekuatan militernya secara tersembunyi.

Pangkalan Olavsvern, yang terletak dekat persimpangan antara Laut Norwegia dan Laut Barents, dulunya dibangun dengan tujuan mengawasi dan, bila perlu, menahan pergerakan kapal-kapal dan kapal selam Rusia yang menuju Atlantik melalui celah sempit yang dikenal sebagai “Celah Beruang.” 

Beberapa bunker di Norwegia berasal dari pendudukan oleh Jerman saat Perang Dunia Kedua. (Alamy)

Dibangun secara bertahap sejak 1950-an, proyek ini begitu besar dan mahal hingga sebagian besar pembiayaannya ditanggung oleh NATO. Pangkalan tersebut dilengkapi dengan pusat komando bawah tanah, dermaga air dalam, dok kering, serta sistem terowongan panjang yang memungkinkan masuk dan keluarnya kapal secara diam-diam.

Namun setelah Perang Dingin berakhir dan ancaman militer dari Rusia dianggap menurun, fasilitas ini ditutup dan pada 2013 bahkan dijual ke swasta dengan harga yang sangat murah dibandingkan nilai aslinya. 

Pemilik barunya bahkan sempat mengizinkan kapal penelitian dan kapal nelayan Rusia mengakses pangkalan tersebut, memicu kekhawatiran tentang kebocoran data strategis. 

Pada 2020, perusahaan dengan afiliasi militer Norwegia kembali membeli pangkalan itu dan mulai melakukan pemulihan, termasuk memperkuat kehadiran militer dan membuka peluang bagi sekutu seperti Amerika Serikat untuk menggunakan fasilitas tersebut.

Pangkalan kapal selam peninggalan Perang Dingin yang terbengkalai di Norwegia. (Getty Images)

Sementara itu, hanggar bawah tanah Bardufoss yang telah lama ditinggalkan juga mengalami nasib serupa. Dibuka pertama kali pada 1938 dan sempat digunakan Jerman saat Perang Dunia II, fasilitas ini kembali dimanfaatkan oleh Angkatan Udara Norwegia. 

Dengan ketebalan perlindungan batu gabro mencapai 275 meter, tempat ini dirancang untuk melindungi pesawat dari serangan udara, termasuk rudal berpemandu dan drone kamikaze seperti yang kini marak digunakan dalam konflik modern. 

Bahkan pesawat tempur canggih seperti F-35 Lightning II dapat ditempatkan dan dirawat di sana, lengkap dengan fasilitas pengisian bahan bakar, penyimpanan senjata, serta ruang kru.

Pangkalan Olavsvern digunakan untuk menyembunyikan kapal selam dari satelit Soviet.(Getty Images)

Reaktivasi bunker ini bukan tanpa alasan. Norwegia melihat bahwa ancaman tidak hanya datang dari konflik terbuka, tetapi juga dari serangan dadakan terhadap aset strategis di darat. 

Pesawat tempur modern memiliki nilai sangat tinggi—dapat mencapai lebih dari 1 triliun rupiah per unit—namun rentan jika tidak dilindungi dengan baik. Di Ukraina, serangan drone murah terhadap pangkalan militer telah menjadi bukti nyata bahwa sistem pertahanan perlu ditingkatkan, termasuk dengan cara lama seperti menyembunyikan pesawat di dalam gunung.

Norwegia juga tidak sendirian. Rusia sendiri telah mengaktifkan kembali puluhan pangkalan era Perang Dingin di Arktik, dan negara-negara lain seperti Swedia serta China turut membangun atau mengaktifkan infrastruktur bawah tanah untuk militer. 

Di Pulau Hainan, China membangun pangkalan kapal selam bawah tanah besar, dan Iran pun telah memamerkan “kota rudal bawah tanah” di wilayah Teluk Persia. Semua ini menunjukkan tren baru dalam militerisasi: kembali ke bawah tanah sebagai perlindungan dari serangan presisi.

Bunker peninggalan Perang Dunia II di Grense Jakobselv, Norwegia, dekat perbatasan Rusia. (Getty Images)

Meski begitu, membangkitkan kembali bunker tua bukan perkara mudah. Banyak di antaranya sudah rusak, terendam air, atau telah dijual untuk penggunaan sipil. Di Inggris, banyak bunker era Perang Dingin telah berubah fungsi menjadi museum, klub malam, atau bahkan ditutup permanen karena biaya pemeliharaan yang tinggi. 

Tantangan lain adalah keamanan informasi: bunker yang sudah diketahui lokasinya selama puluhan tahun, lengkap dengan titik ventilasi dan akses masuk yang bisa terpantau citra satelit, memiliki keterbatasan taktis.

Namun demikian, ada pula situs-situs yang masih digunakan secara diam-diam, seperti bunker Komando Udara di Buckinghamshire, Inggris, atau jaringan terowongan Corsham yang masih menjadi bagian dari infrastruktur pertahanan negara. 

Pemerintah bahkan mulai mengklasifikasi ulang dokumen-dokumen era Perang Dingin demi menjaga kerahasiaan yang sempat dibuka ke publik.

Bagi Norwegia, semua langkah ini merupakan bagian dari kesiapsiagaan menghadapi dunia yang berubah cepat. Sejak 2006, mereka telah mengamati tanda-tanda bangkitnya kekuatan militer Rusia di Arktik. 

Dengan latar belakang sejarah yang panjang dan posisi geografis yang strategis, negara ini merasa perlu untuk bersiap. Jika terjadi konflik besar, pertahanan yang tersembunyi di dalam batu mungkin menjadi perbedaan antara selamat atau hancur.