Eks PM Israel Ehud Olmert mengecam perang Gaza dan menyebut tindakan pemerintah sebagai kejahatan perang. (Foto: EPA)

Konflik bersenjata yang terjadi di Jalur Gaza sejak akhir 2023 tidak hanya mengguncang komunitas internasional, tetapi juga memecah belah opini di dalam Israel sendiri. Salah satu suara paling keras datang dari mantan Perdana Menteri Ehud Olmert, yang menggambarkan kampanye militer pemerintah saat ini sebagai "konflik tanpa arah strategis yang jelas," dengan implikasi kemanusiaan yang amat parah.

Olmert mengkritik keras pendekatan militer Israel terhadap Gaza yang dinilainya kejam dan tidak berlandaskan prinsip hukum humaniter. Ia menyebut tindakan pemerintah sebagai bentuk kekerasan terencana yang mengabaikan nyawa warga sipil, terutama perempuan dan anak-anak. 

Kritik ini datang di tengah laporan yang menunjukkan bahwa sekitar 70% dari lebih dari 54.000 korban jiwa di Gaza adalah perempuan dan anak-anak—sepertiga di antaranya berusia di bawah 18 tahun, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza yang diverifikasi oleh badan-badan PBB.

Lebih jauh lagi, studi yang diterbitkan di jurnal The Lancet memperkirakan bahwa jumlah kematian akibat trauma dan kondisi tidak tertangani telah melampaui 70.000 pada Oktober 2024. 

Hal ini diperburuk oleh pembatasan ketat terhadap pasokan bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut, dengan sekitar 90% bantuan berupa air bersih, listrik, dan obat-obatan dihambat masuk oleh otoritas Israel. Human Rights Watch (HRW) mengategorikan tindakan ini sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kecaman terhadap Israel tidak terbatas pada pernyataan individu seperti Olmert. Di panggung hukum internasional, Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) Karim Khan telah mengajukan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. 

Mereka dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pemboman di wilayah padat penduduk dan pemindahan paksa warga sipil Gaza.

HRW dan lembaga pengawas lainnya menyoroti penghancuran sistematis infrastruktur sipil di Gaza Utara, dengan antara 56 hingga 81 persen bangunan rata dengan tanah. 

Langkah ini, menurut beberapa analis, merupakan upaya menciptakan “zona penyangga” permanen—sebuah strategi yang mengingatkan pada pola lama pemindahan populasi yang dianggap melanggar Konvensi Jenewa IV.

Krisis ini juga membuka ruang bagi munculnya narasi ekstrem di kalangan politisi sayap kanan Israel. Beberapa pernyataan menggemparkan datang dari tokoh-tokoh seperti Amihai Eliyahu, yang sempat menyarankan penggunaan senjata nuklir terhadap Gaza, serta Bezalel Smotrich, yang mendorong agar pemukiman Yahudi dibangun kembali di wilayah tersebut.

Di media konservatif, komentar seperti yang disampaikan oleh Moshe Feiglin di Channel 14—yang menyatakan bahwa “setiap anak Gaza adalah musuh”—mencerminkan retorika dehumanisasi yang memicu kekhawatiran tentang arah kebijakan negara ke depan. 

Upaya untuk membangun kembali pemukiman di Gaza dinilai oleh para pakar hukum internasional sebagai pelanggaran hukum perang, dan bahkan dikategorikan oleh Departemen Luar Negeri AS sebagai bentuk pembersihan etnis.

Komunitas internasional mulai mengambil langkah lebih konkret. Afrika Selatan, melalui Mahkamah Internasional (ICJ), secara resmi menggugat Israel atas dugaan tindakan genosida, mengacu pada pernyataan para pejabat Israel yang dianggap merendahkan martabat manusia warga Palestina.

Sementara itu, HRW mendesak negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jerman untuk menghentikan penjualan senjata ke Israel, guna menghindari keterlibatan dalam potensi kejahatan perang. 

Dorongan embargo senjata ini mencerminkan kekhawatiran bahwa dukungan militer terhadap Israel dapat memperpanjang penderitaan sipil dan menunda penyelesaian konflik secara damai.

Penting dicatat bahwa kecaman internasional tidak hanya ditujukan kepada Israel. ICC juga telah mengeluarkan surat penangkapan terhadap para pemimpin Hamas atas serangan 7 Oktober 2023, termasuk pembantaian warga sipil, penyanderaan, dan dugaan penggunaan perisai manusia. 

Ini menunjukkan upaya untuk mempertahankan prinsip akuntabilitas seimbang dalam konflik bersenjata, tanpa memihak pada satu aktor tunggal.

Krisis di Gaza bukan sekadar bentrokan militer, melainkan cerminan dari kegagalan politik, krisis kemanusiaan, dan keretakan etis yang mendalam. 

Dengan lebih dari 13.000 anak dilaporkan tewas—angka yang melebihi total korban anak-anak dalam seluruh konflik global selama empat tahun terakhir—situasi ini menuntut tanggapan yang jauh melampaui kutukan retoris.

Sudah saatnya komunitas internasional dan para pemimpin regional meletakkan dasar untuk solusi berkelanjutan yang berakar pada keadilan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Tanpa itu, sejarah akan kembali terulang sebagai tragedi yang tak berkesudahan.