![]() |
Jepang mengalami penurunan populasi terbesar dalam sejarah modernnya. (Foto: freepik) |
Jepang tengah menghadapi krisis demografis yang semakin parah, ditandai dengan penurunan populasi yang terus berlanjut selama 14 tahun berturut-turut. Pada tahun 2024, jumlah penduduk negara ini tercatat hanya 120,3 juta jiwa, turun hampir 900.000 dari tahun sebelumnya. Bahkan ketika jumlah warga asing dimasukkan, total populasi tetap mengalami penyusutan, menjadi 123,8 juta orang.
Ini adalah penurunan terbesar sejak pencatatan dimulai pada 1950-an, dan membuat proporsi penduduk usia kerja (15-64 tahun) turun menjadi hanya 59,6 persen—di bawah Amerika Serikat yang berada di angka 62,3 persen. Situasi ini mengarah pada kekhawatiran yang mendalam akan ancaman kepunahan demografis jika tidak segera ditangani.
Akar persoalan ini terletak pada kombinasi kompleks antara faktor ekonomi, budaya, dan sosial. Sejak pasca-Perang Dunia II, Jepang membangun fondasi masyarakat yang sangat terfokus pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam proses ini, sektor domestik seperti pengasuhan anak dan perawatan lansia diabaikan, dan pekerjaan rumah tangga hampir sepenuhnya dibebankan kepada perempuan. Ketimpangan gender ini menjadi beban struktural yang hingga kini belum terselesaikan.
Demografer Ryuichi Kaneko dari Universitas Meiji menilai bahwa penurunan angka kelahiran Jepang tidak dapat dilepaskan dari warisan sosial ini, di mana pekerjaan domestik dianggap rendah dan tidak mendapat dukungan institusional yang memadai.
Generasi muda Jepang juga menunjukkan perubahan sikap signifikan terhadap pernikahan dan kehidupan keluarga. Survei tahun 2022 mengungkapkan bahwa sepertiga dari responden menyatakan tidak tertarik menjalin hubungan jangka panjang, dan banyak di antara mereka merasa tidak akan kesepian meski hidup sendiri.
Kemandirian ekonomi perempuan turut memengaruhi tren ini; semakin banyak wanita Jepang yang memilih untuk tidak menikah demi menghindari tekanan peran tradisional dalam rumah tangga.
Sementara itu, kondisi ekonomi seperti biaya hidup yang tinggi, stagnasi upah, dan sempitnya ruang tempat tinggal menambah lapisan kesulitan bagi pasangan muda untuk membangun keluarga. Budaya kerja yang ekstrem—dengan fenomena karoshi atau kematian akibat kerja berlebihan—semakin menggerus waktu dan energi untuk kehidupan pribadi.
Pemerintah Jepang telah menyadari urgensi krisis ini dan mulai mengambil langkah-langkah kebijakan yang ambisius. Pada tahun 2023, pemerintah menggelontorkan paket stimulus senilai lima miliar dolar AS untuk memperluas tunjangan anak, meningkatkan jumlah dan kualitas fasilitas penitipan anak, serta memberikan dukungan pendidikan bagi keluarga muda.
Selain itu, Jepang juga mulai melakukan reformasi kebijakan imigrasi untuk menanggulangi kekurangan tenaga kerja, khususnya di sektor manufaktur dan perawatan lansia. Pemerintah menargetkan pelipatan jumlah pekerja asing hingga tahun 2040, termasuk pelonggaran aturan agar mereka dapat tinggal lebih lama bersama keluarganya.
Namun, sebagaimana disampaikan oleh mantan Menteri Kesehatan Jepang, Keizo Takemi, waktu yang dimiliki negara ini semakin menipis. Menurutnya, Jepang hanya memiliki peluang hingga dekade 2030-an untuk membalik arah tren demografis ini sebelum konsekuensinya menjadi tidak terelakkan.
Tantangan yang dihadapi bukan hanya soal angka kelahiran, melainkan soal merombak sistem sosial dan budaya yang selama ini melekat kuat—mulai dari cara kerja, peran gender, hingga kebijakan perumahan dan kesejahteraan keluarga.
Situasi Jepang mencerminkan fenomena yang lebih luas di Asia Timur. Korea Selatan, misalnya, mencatatkan tingkat kelahiran terendah di dunia pada 2023, yaitu 0,72 per wanita. China pun mulai mengalami penurunan populasi untuk pertama kalinya dalam 60 tahun.
Negara-negara seperti Taiwan dan Singapura meski telah menawarkan berbagai insentif, tetap kesulitan meningkatkan angka kelahiran. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan demografis tidak semata bisa diselesaikan lewat stimulus ekonomi, melainkan menuntut perombakan menyeluruh terhadap struktur sosial dan budaya kerja.
Dalam lanskap global yang berubah cepat, muncul pertanyaan penting: apakah teknologi seperti robotika dan kecerdasan buatan dapat menggantikan kekurangan tenaga kerja manusia? Jepang, sebagai negara dengan kemajuan teknologi yang tinggi, menjadi laboratorium alami untuk menjawab pertanyaan ini.
Namun solusi semacam itu, meski menjanjikan efisiensi, tidak serta-merta mengatasi persoalan sosial yang lebih dalam, seperti isolasi individu dan ketimpangan peran dalam masyarakat. Pergeseran peran gender juga memainkan peran penting dalam dinamika ini.
Emansipasi perempuan yang meningkat seharusnya menjadi kemajuan, tetapi di sisi lain, tanpa reformasi peran laki-laki dalam rumah tangga dan dukungan institusional yang kuat, kemajuan ini justru berkontribusi pada penurunan angka pernikahan dan kelahiran.
Ketika sistem tetap menuntut perempuan untuk memilih antara karier atau keluarga, banyak yang akhirnya memilih tidak menikah atau tidak memiliki anak.
Jepang saat ini berdiri di persimpangan historis. Upaya mengatasi krisis populasi memerlukan lebih dari sekadar kebijakan fiskal atau pelonggaran imigrasi.
Yang dibutuhkan adalah transformasi menyeluruh—baik struktural maupun kultural—yang memampukan generasi muda untuk melihat masa depan berkeluarga bukan sebagai beban, tetapi sebagai pilihan yang layak dan didukung oleh masyarakat.
Tanpa itu, kekhawatiran akan "kepunahan demografis" yang disebut Elon Musk bukanlah isapan jempol, melainkan realitas yang perlahan menjelma.
0Komentar