Meski kaya cadangan timah, Indonesia masih menjual mentah. Sementara China dan AS menikmati nilai tambahnya. (Timah.com)

Pada tahun 2024, Indonesia yang merupakan produsen timah terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Myanmar, mencatat penurunan signifikan dalam ekspor timah. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, ekspor refined tin ingot Indonesia mencapai 45.420 metrik ton dengan nilai sebesar USD 1,41 miliar atau sekitar Rp 23,16 triliun. Dibandingkan tahun sebelumnya, volume ekspor turun sebesar 33,62%, sementara nilai ekspor menurun 19,96%.

Negara tujuan utama ekspor timah Indonesia tahun ini dipimpin oleh Tiongkok dengan total pembelian sebesar USD 416,99 juta untuk 13.280 ton, diikuti oleh India sebesar USD 275,06 juta (8.650 ton), Korea Selatan USD 188,63 juta (6.050 ton), Singapura USD 180,02 juta (5.850 ton), dan Jepang USD 83,86 juta (2.730 ton). 

Negara-negara lainnya dalam sepuluh besar termasuk Belanda, Taiwan, Italia, Belgia, dan Amerika Serikat, masing-masing menerima antara 1.000 hingga 2.000 ton timah dengan nilai antara USD 30 juta hingga USD 62 juta.

Penurunan ekspor ini terjadi di tengah gangguan pasokan global yang cukup signifikan. Myanmar, sebagai salah satu produsen utama dunia, menghentikan operasi tambang Man Maw, sementara Indonesia mengalami hambatan perizinan akibat peralihan dari sistem izin tahunan menjadi tiga tahunan. 

Kebijakan baru ini sempat menghentikan aktivitas ekspor pada awal tahun karena proses administratif yang lambat. Selain itu, penyitaan lima smelter besar yang menyumbang sekitar 50% kapasitas nasional akibat kasus korupsi turut memperburuk situasi.

Di pasar global, kondisi pasokan yang terganggu ini berdampak pada harga. Harga timah di London Metal Exchange (LME) naik 5,3% sejak awal tahun, menembus angka USD 26.500 per ton. 

Kenaikan ini mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap kelangkaan pasokan, terlebih ketika produksi Indonesia sendiri menurun dari 70.000 ton pada 2022 menjadi hanya 52.000 ton pada 2023, sehingga posisi Indonesia sebagai produsen terbesar kedua digantikan oleh Myanmar.

Pemerintah Indonesia terus mendorong kebijakan hilirisasi agar ekspor tidak hanya dalam bentuk bahan mentah. Targetnya adalah mendorong pengolahan timah dalam negeri, seperti untuk produksi solder dan komponen elektronik. 

Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi tantangan besar, mulai dari kelebihan kapasitas smelter, kebutuhan investasi teknologi tinggi, hingga resistensi dari pelaku industri yang belum siap bertransformasi. 

Untuk mendukung tata kelola yang lebih transparan, sistem pelacakan SIMBARA resmi diluncurkan pada 2024 untuk menekan praktik penambangan ilegal.

Meskipun angka ekspor mengalami penurunan tajam, kondisi ini dapat menjadi titik balik strategis bagi Indonesia untuk memperkuat posisi di rantai pasok global. 

Tantangan struktural yang muncul, mulai dari masalah tata kelola hingga inefisiensi industri, harus dijawab dengan reformasi mendalam, bukan sekadar larangan ekspor. 

Indonesia memiliki peluang besar untuk tidak hanya menjadi eksportir utama timah dunia, tetapi juga pemain penting dalam industri berbasis nilai tambah, asalkan arah kebijakannya konsisten, terukur, dan didukung oleh ekosistem investasi yang sehat.