Putin mengundang lebih dari 100 negara dalam Forum Keamanan Global ke-13 di Moskow. BRICS, ASEAN, dan Global South hadir membahas arsitektur keamanan dunia baru. (Xinhua/Alexander Zemlianichenko Jr)

Di tengah ketegangan geopolitik yang belum mereda akibat invasi ke Ukraina dan tekanan diplomatik dari negara-negara Barat, Rusia membuka Forum Keamanan Global ke-13 di Moskow dengan ambisi yang tak sekadar simbolik. 

Dihadiri oleh lebih dari 125 delegasi dari lebih dari 100 negara—mayoritas berasal dari Global South—forum ini menegaskan strategi Rusia untuk membentuk blok kerja sama non-Barat yang solid dan tahan terhadap tekanan unipolar.

Forum yang dipimpin langsung oleh Sekretaris Dewan Keamanan Rusia, Sergey Shoigu, berlangsung di Pusat Nasional Rusia, sebuah lokasi prestisius yang mencerminkan bobot politik acara tersebut. 

Shoigu menyampaikan bahwa dunia membutuhkan “arsitektur keamanan global yang adil dan inklusif”, sebuah frasa yang menjadi jargon Rusia dalam menantang dominasi sistem keamanan internasional yang selama ini dikendalikan oleh NATO dan sekutunya.

Forum tahun ini memperlihatkan intensifikasi pendekatan Rusia terhadap negara-negara di belahan selatan dan timur dunia. Menurut data yang dikutip dari Carnegie Endowment, sekitar 70% peserta berasal dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin. 

Dengan kehadiran organisasi besar seperti BRICS, ASEAN, SCO, EAEU, dan CIS, terlihat jelas bahwa Moskow berupaya menjadikan forum ini sebagai “mini-Davos” untuk Global South—tempat membicarakan isu keamanan, ekonomi, dan teknologi di luar bayang-bayang Washington dan Brussels.

Pembicaraan informal dengan perwakilan BRICS dan ASEAN tampaknya menyasar koordinasi yang lebih erat dalam menangani ancaman bersama, mulai dari terorisme hingga kejahatan transnasional. 

Tak ketinggalan, seminar perdana mengenai keamanan global berbasis ilmu sosial membuka diskursus yang lebih luas—meskipun bahasannya soal disinformasi berpotensi menimbulkan kontroversi, mengingat tuduhan Barat terhadap Rusia terkait perang informasi.

Forum ini juga terjadi dalam konteks proposal gencatan senjata yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump, yang hingga kini belum menunjukkan kejelasan implementasi. 

Namun, analis mencurigai bahwa Moskow mungkin menggunakan forum ini sebagai panggung untuk memperkuat narasi "dunia multipolar" sebagai solusi atas konflik Ukraina. 

Alih-alih fokus pada kesepakatan damai konkret, Rusia tampaknya mendorong pergeseran wacana: bahwa keamanan global seharusnya tak lagi didikte oleh satu kutub kekuatan saja.

Respons Barat tidak menunggu lama. Uni Eropa dan Amerika Serikat menilai forum ini sebagai instrumen propaganda Kremlin untuk mengikis solidaritas negara-negara Barat dan menyusupi ketidakpuasan di negara berkembang terhadap dominasi dolar serta kebijakan luar negeri NATO.

Sejak diluncurkan pada 2010, Forum Keamanan Global Moskow memang sudah menjadi ajang penting bagi Rusia untuk menawarkan narasi alternatif terhadap tatanan dunia liberal-demokratis.

Namun di tahun 2025, acara ini berkembang menjadi arena nyata pertarungan pengaruh antara dua kutub besar dunia—Barat yang dipimpin AS dan poros alternatif yang coba dikonsolidasikan Rusia dan mitra-mitranya.

Pertanyaannya kini: apakah Global South benar-benar melihat Moskow sebagai mitra setara dan bukan hanya sebagai oportunis geopolitik baru?

Diplomasi Rusia di Moskow kali ini memperlihatkan bahwa dalam dunia yang semakin terpecah, kekuatan lunak (soft power) tetap menjadi senjata strategis. 

Lewat forum, retorika multipolar, dan kerja sama multilateral ala BRICS-SCO, Rusia mencoba menulis ulang aturan main global. Namun tanpa legitimasi moral dan solusi nyata atas konflik seperti di Ukraina, upaya ini tetap rawan dilihat sebagai taktik pelarian, bukan visi masa depan.

Jika Moskow ingin benar-benar menjadi jangkar dunia multipolar, ia perlu lebih dari sekadar forum. Ia butuh kepercayaan—dan itu tak bisa dibangun dari panggung diplomasi saja.