Suasana gedung bertingkat nampak dari atas di kawasan Jakarta, Senin (7/11). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Di tengah perlambatan ekonomi global dan ketegangan geopolitik, Indonesia menunjukkan daya tahan ekonomi yang relatif kuat dibandingkan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara. Ekonom dan anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Chatib Basri, menyatakan bahwa struktur ekonomi Indonesia yang kurang bergantung pada ekspor menjadi salah satu keunggulan utama dalam menjaga stabilitas pertumbuhan.

Menurut Basri, kontribusi ekspor Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 25%, jauh lebih rendah dibandingkan Singapura yang mencapai 180% dan Vietnam sekitar 90%. 

Ketergantungan yang rendah ini memberikan perisai alami terhadap guncangan eksternal seperti perlambatan permintaan global atau ketegangan perdagangan, khususnya antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

“Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya sekitar 10%. Artinya, ketika kebijakan tarif dari pemerintahan Trump menghantam perdagangan global, dampaknya ke Indonesia tidak sebesar ke negara seperti Vietnam atau Singapura,” ujarnya.

Pertumbuhan Tetap Positif di Tengah Revisi IMF

Meski Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan Indonesia menjadi 4,7% untuk periode 2025–2026—turun dari sebelumnya 5,1%—angka ini tetap menunjukkan performa yang lebih stabil dibanding Vietnam yang diproyeksikan turun drastis dari 7,1% pada 2024 menjadi 5,2% pada 2025 dan hanya 4% pada 2026. 

Proyeksi pertumbuhan Singapura belum disebut secara spesifik, namun implikasinya menunjukkan bahwa laju ekonominya cenderung lebih rendah dari Indonesia. Proyeksi internal pemerintah bahkan sedikit lebih optimis, dengan target pertumbuhan di kisaran 4,5% hingga 5% pada 2025. 

Hal ini menunjukkan keyakinan bahwa kekuatan domestik Indonesia, terutama konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari 55% PDB, akan terus menopang pertumbuhan di tengah ketidakpastian global.

Ketahanan yang Relatif: ‘Least Unattractive’ di Mata Investor

Dalam lanskap investasi global yang bergejolak, Indonesia justru muncul sebagai salah satu pilihan yang lebih menarik—atau dalam istilah Basri, “least unattractive country.” 

Meskipun imbal hasil investasi di Indonesia mungkin tidak terlalu tinggi secara absolut, stabilitas ekonomi dan politik menjadikan negara ini lebih aman dibandingkan alternatif lain di kawasan.

Investasi asing pun diperkirakan akan tetap mengalir, khususnya ke sektor-sektor strategis seperti infrastruktur, energi, dan manufaktur ringan, seiring dengan kelanjutan proyek-proyek besar yang didorong oleh kebijakan fiskal pemerintah.

Dampak dari Keterkaitan Ekspor yang Rendah

Namun, struktur ekonomi yang relatif tertutup dari perdagangan global ini memiliki dua sisi. Saat dunia mengalami pemulihan, negara-negara seperti Vietnam yang sangat bergantung pada ekspor akan lebih cepat bangkit. 

Sebaliknya, pemulihan Indonesia bisa berlangsung lebih lambat karena ekspor bukan pendorong utama PDB. Inilah paradoks yang dihadapi Indonesia: relatif tahan terhadap krisis global, namun juga kurang responsif terhadap momentum pemulihan global. 

Oleh karena itu, strategi diversifikasi ekonomi dan penguatan sektor industri bernilai tambah menjadi penting dalam menjaga daya saing jangka panjang.

Untuk menjaga momentum pertumbuhan, pemerintah Indonesia telah menyiapkan berbagai instrumen fiskal dan moneter. RAPBN 2025 difokuskan pada pembangunan infrastruktur, peningkatan daya saing SDM, serta insentif investasi di sektor hijau dan digital. 

Di sisi lain, Bank Indonesia tetap menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi melalui kebijakan suku bunga yang hati-hati namun proaktif.

Kombinasi antara fondasi domestik yang kuat, pengelolaan makroekonomi yang hati-hati, serta eksposur global yang relatif rendah membuat Indonesia tetap menjadi pemain penting di tengah ketidakpastian global. 

Dengan strategi yang tepat, Indonesia bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga mengambil peluang dari pergeseran dinamika ekonomi dunia.