Harga batu bara naik 1,31% ke US$ 100,55/ton, level tertinggi sejak April 2025. Namun, tren tahunan masih negatif akibat oversupply dan turunnya permintaan global. (Bloomberg/Dimas Ardian)

Harga batu bara kembali menarik perhatian pasar setelah mencatat lonjakan signifikan, menembus level psikologis US$ 100 per ton. Pada penutupan perdagangan Selasa (20/5/2025), kontrak batu bara di ICE Newcastle untuk pengiriman bulan depan ditutup di US$ 100,55 per ton, menguat 1,31% dibanding hari sebelumnya. 

Ini merupakan level tertinggi sejak awal April, atau lebih dari satu setengah bulan terakhir. Namun, di balik kenaikan jangka pendek ini, tren harga batu bara sepanjang 2025 masih menunjukkan pelemahan yang cukup dalam.

Secara year-to-date, harga batu bara telah terkoreksi sekitar 20%, mencerminkan tekanan dari sisi fundamental yang masih kuat. Salah satu faktor utama adalah pasokan yang membanjiri pasar. 

Data terbaru menunjukkan produksi batu bara China pada kuartal pertama 2025 mencapai 1,2 miliar ton, naik 8,1% dibanding periode yang sama tahun lalu. 

Di sisi lain, permintaan global melemah seiring percepatan transisi energi. Konsumsi listrik berbasis fosil menurun 2,3% karena meningkatnya kapasitas energi terbarukan di berbagai negara, terutama di Asia.

Dari sisi teknikal, pergerakan harga saat ini memunculkan sinyal campuran. Indikator RSI berada di 55,69, mengisyaratkan adanya momentum positif, namun Stochastic RSI di kisaran 42,1 menunjukkan tekanan jual masih ada. 

Jika tekanan koreksi terjadi, area support terdekat berada di US$ 99 per ton, dengan batas bawah berikutnya di US$ 97 per ton. Sebaliknya, jika harga mampu menembus resistensi di US$ 105 per ton, terbuka peluang menuju level optimis di US$ 123 per ton. 

Namun, sebagian analis memperingatkan bahwa lonjakan harga belakangan ini bisa jadi hanya pantulan teknikal, bukan awal tren baru.

Di luar faktor teknikal dan fundamental utama, beberapa dinamika eksternal turut memengaruhi arah harga batu bara ke depan. India, salah satu konsumen dan eksportir besar batu bara, berencana membatasi ekspor batu bara thermal mulai Juni 2025 demi menjamin ketersediaan domestik saat musim panas. 

Kebijakan ini berpotensi mengurangi pasokan global dan menopang harga, terutama jika didukung oleh faktor musiman. Sementara itu, pemulihan produksi baja di kawasan Eropa dan Asia Tenggara turut mendongkrak permintaan batu bara kokas. 

Meskipun segmen ini berbeda dari batu bara thermal, sentimen positif terhadap salah satu jenis batu bara kerap memengaruhi pasar energi secara keseluruhan.

Pandangan lembaga riset pun bervariasi. Goldman Sachs mempertahankan proyeksi harga rata-rata batu bara thermal tahun ini di kisaran US$ 95 per ton, dengan risiko penurunan lanjutan jika China terus menambah stok nasional. 

Oversupply dari negara produsen utama seperti Indonesia, Australia, dan China juga disebut akan membatasi ruang kenaikan. Sebaliknya, Fitch Ratings melihat potensi rebound pada kuartal keempat 2025, didorong oleh peningkatan permintaan musim dingin dan ketatnya regulasi lingkungan di Australia yang mulai membatasi produksi batu bara.

Tak kalah penting adalah peran faktor geopolitik dan harga energi global. Kenaikan harga minyak mentah, yang saat ini berada di atas US$ 90 per barel, bisa mendorong energy switching ke batu bara sebagai alternatif lebih ekonomis. 

Dari dalam negeri, laporan Kementerian ESDM menunjukkan adanya kenaikan biaya produksi batu bara sebesar 5% secara tahunan, terutama akibat peningkatan upah dan regulasi, meskipun sejauh ini belum berdampak signifikan terhadap harga jual ekspor.

Dengan latar belakang yang kompleks ini, harga batu bara kemungkinan besar akan bergerak fluktuatif dalam jangka pendek. Sentimen teknikal bisa memberi dorongan sesaat, namun arah jangka menengah hingga akhir tahun masih akan sangat ditentukan oleh kombinasi pasokan global, kebijakan negara produsen dan konsumen utama, serta dinamika energi global secara keseluruhan.