Maskapai Garuda Indonesia/istimewa

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) kembali menjadi sorotan pasar setelah mencuat kabar mengenai potensi suntikan dana dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Meski belum ada konfirmasi final, sinyalemen ini menandakan kemungkinan babak baru dalam upaya pemerintah menyelamatkan maskapai pelat merah yang tengah berjuang keluar dari tekanan finansial.

Melalui keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), manajemen GIAA mengonfirmasi bahwa belum terdapat keputusan resmi terkait aksi korporasi baru, termasuk keterlibatan Danantara. 

Pihak Garuda menegaskan komitmen mereka untuk tetap mematuhi regulasi yang berlaku dan menjaga komunikasi intensif dengan para pemangku kepentingan.

advertisements
Ad
Pernyataan ini menunjukkan posisi Garuda yang memilih bersikap hati-hati, mengingat sensitivitas informasi tersebut terhadap persepsi pasar. Hal ini cukup logis, mengingat reputasi dan kepercayaan investor sangat dipengaruhi oleh kejelasan strategi perusahaan, terutama setelah proses restrukturisasi besar yang rampung pada 2023.

BPI Danantara sendiri adalah entitas baru yang dirancang pemerintah untuk mempercepat transformasi BUMN melalui pendekatan investasi strategis. 

Keterlibatan lembaga ini dalam Garuda bisa menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah tidak ingin sekadar menyelamatkan, tetapi juga mereformasi model bisnis maskapai nasional.

Danantara memiliki fleksibilitas dalam menyuntikkan modal maupun menggandeng investor baru yang bisa membawa keahlian dan jaringan bisnis. Ini membuka pintu bagi skenario seperti kerja sama operasional, hybrid financing, hingga potensi spin-off unit usaha Garuda yang dianggap potensial.

Namun, dana saja tak cukup. Garuda masih menghadapi tekanan besar dari struktur biaya yang tidak efisien, termasuk tingginya harga avtur, tekanan biaya leasing pesawat, hingga kompetisi agresif dari maskapai low-cost carrier (LCC). 

Dalam laporan keuangan Q1 2024, GIAA membukukan kerugian bersih sebesar Rp 1,2 triliun, meskipun pendapatan tumbuh 15% secara tahunan.
Dalam kondisi ini, suntikan modal harus diiringi oleh reformasi struktural yang menyeluruh, termasuk evaluasi rute, efisiensi SDM, dan integrasi sistem layanan. Keterlibatan Danantara bisa menjadi momentum untuk mendesain ulang model bisnis Garuda agar lebih agile dan profit-oriented.

Saham GIAA sempat naik 1,5% setelah kabar ini beredar, namun segera terkoreksi kembali karena belum adanya kejelasan rencana konkret. Investor, khususnya ritel, masih menunggu kepastian langkah strategis berikutnya dari pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas.

Pasar pada dasarnya menginginkan transparansi dan roadmap pemulihan yang jelas. Tanpa itu, setiap rumor akan berujung pada volatilitas harga saham dan ketidakpastian arah investasi.

Jika pemerintah serius ingin menyelamatkan Garuda tanpa mengulang pola subsidi berkala yang tidak berkelanjutan, maka keterlibatan Danantara harus disertai dengan reformasi total. Suntikan dana semata tidak akan cukup jika model bisnis tidak berubah.

Garuda perlu berani melakukan ‘restart’—bukan hanya dari sisi keuangan, tetapi juga budaya kerja, kemitraan, dan orientasi pasar. Kolaborasi dengan BUMN lain seperti Pertamina (untuk avtur) atau Angkasa Pura (untuk operasional bandara) bisa menjadi pilar penting efisiensi jangka panjang.

Kabar potensi pendanaan dari Danantara memberi harapan, tetapi juga menuntut Garuda untuk lebih terbuka dan responsif terhadap ekspektasi publik dan investor. 

Apakah ini akan menjadi titik balik atau sekadar episode sementara dalam drama panjang penyelamatan BUMN penerbangan? Waktu dan keberanian reformasi akan menjawabnya.

Referensi:
• Laporan BEI GIAA (21 Mei 2025)
CNBC Indonesia, Kontan, dan sumber keuangan 
• Data pasar saham GIAA dari BEI