Pada awal masa jabatan keduanya, Presiden Donald Trump langsung memerintahkan peluncuran proyek pertahanan paling ambisius dalam sejarah Amerika Serikat: Golden Dome. Dengan estimasi biaya awal sebesar $175 miliar, proyek ini dirancang sebagai sistem pertahanan multi-layer untuk mendeteksi dan menghancurkan ancaman rudal sebelum memasuki wilayah AS.
Golden Dome akan mengandalkan ratusan satelit sebagai jaringan utama untuk mendeteksi, melacak, dan bahkan mencegat rudal di luar atmosfer.
Integrasi sistem berbasis darat dan luar angkasa—menggabungkan sensor orbital dan pencegat canggih—ditujukan untuk menghadapi berbagai ancaman mulai dari rudal balistik hingga rudal hipersonik.
Dengan target operasional sebelum tahun 2029, proyek ini mengambil inspirasi dari sistem Iron Dome milik Israel, namun dikembangkan dalam skala dan kompleksitas teknologi yang jauh lebih besar.
Meski ambisius, banyak kalangan mempertanyakan realisme proyek ini. Laporan dari Congressional Budget Office (CBO) memprediksi bahwa biaya dapat membengkak hingga $800 miliar dalam dua dekade ke depan.
Tak hanya itu, negara-negara seperti Rusia dan China menyuarakan kekhawatiran bahwa sistem ini dapat menggoyahkan keseimbangan kekuatan nuklir global dengan mengurangi efektivitas serangan balasan mereka.
Ketergantungan pada kontraktor swasta seperti SpaceX dan Palantir juga memunculkan pertanyaan soal transparansi dan kontrol pemerintah terhadap teknologi pertahanan vital.
Daya Tarik Iron Dome di Kancah Global
Kesuksesan Iron Dome milik Israel dalam mencegat ribuan rudal dari Hamas dan Hezbollah, dengan tingkat keberhasilan mencapai 85-90%, membuatnya menjadi sistem pertahanan udara paling dicari dunia saat ini.
Banyak negara kini berlomba mengadopsi atau mengembangkan sistem serupa untuk menanggapi ancaman regional dan modernisasi militer.
Negara-Negara yang Mengadopsi atau Berinovasi Berdasarkan Iron Dome:
Rumania
Telah memperoleh lisensi produksi Iron Dome sejak 2022 dan membangun kemitraan dengan Rafael untuk memproduksi rudal Spike dan sistem pertahanan maritim, sekaligus membuka peluang ekspor ke anggota NATO lain.
Azerbaijan
Negara pertama yang membeli versi ekspor dari Iron Dome untuk mendukung operasinya di wilayah sengketa Nagorno-Karabakh.
Korea Selatan
Tengah mengembangkan sistem pertahanan serupa dengan anggaran $2,5 miliar, ditargetkan siap pakai pada 2035 untuk menangkal potensi serangan dari Korea Utara.
Finlandia
Mengakuisisi David’s Sling, sistem rudal jarak menengah dari Israel senilai $335 juta, sebagai bagian dari strategi penguatan pertahanan pasca-perang Ukraina.
Inggris
Menerapkan pendekatan hybrid dengan menciptakan sistem Sky Sabre, yang menggabungkan teknologi Iron Dome, radar Swedia, dan rudal CAMM.
Kanada
Aktif menjalin kerja sama radar dengan Israel dan kini menjajaki kemungkinan bergabung dalam proyek Golden Dome bersama Amerika.
Pendorong Utama Meningkatnya Permintaan
Intensitas konflik bersenjata, seperti perang di Ukraina dan serangan rudal dari kelompok bersenjata seperti Houthi, mendorong negara-negara untuk mengutamakan sistem pertahanan udara.
Meningkatnya ancaman dari rudal hipersonik dan drone memicu kebutuhan akan solusi intersepsi presisi tinggi.
Upaya modernisasi militer dan ketegangan geopolitik di kawasan seperti Asia Timur dan Timur Tengah mempercepat adopsi teknologi pertahanan mutakhir.
Golden Dome merepresentasikan ambisi AS dalam menciptakan pertahanan udara menyeluruh yang menggabungkan kekuatan antariksa dan kecerdasan buatan. Namun proyek ini juga membawa tantangan besar, baik dari sisi biaya maupun implikasi strategis global.
Sementara itu, proliferasi sistem seperti Iron Dome menandai pergeseran paradigma dalam pertahanan militer: dari pencegahan berbasis ancaman nuklir ke intersepsi berbasis teknologi real-time.
Meski meningkatkan keamanan nasional masing-masing negara, tren ini berisiko mempercepat perlombaan senjata global yang lebih kompleks dan mahal.
0Komentar