Garuda Indonesia mengalami kenaikan biaya operasional hingga Rp75 juta per penerbangan sejak 2019. (Shutterstock)

Dalam lima tahun terakhir, industri penerbangan global menghadapi tantangan berat akibat tekanan ekonomi makro, fluktuasi nilai tukar, hingga perubahan pola perjalanan pasca pandemi. Garuda Indonesia, sebagai maskapai nasional, turut merasakan dampaknya secara signifikan. 

Salah satu indikator utamanya terlihat pada melonjaknya biaya operasional untuk rute populer seperti Jakarta (Cengkareng) – Denpasar yang kini mencapai Rp269 juta per penerbangan, naik dari sekitar Rp194 juta pada tahun 2019. Ini berarti ada lonjakan sekitar 38 persen.

Membedah Sumber Kenaikan Biaya

Peningkatan ini tidak terjadi tanpa alasan. Analisis internal Garuda menunjukkan bahwa lonjakan biaya tersebut didorong oleh kombinasi faktor eksternal dan internal yang saling berkelindan:

Eksternal:

Harga Avtur mengalami kenaikan tajam seiring dengan menguatnya nilai tukar dolar AS. Kenaikan ini berkontribusi hampir Rp25 juta dalam total pembiayaan per penerbangan.

Fluktuasi Kurs berdampak luas, mengingat banyak komponen operasional Garuda—seperti sewa pesawat dan perawatan—dibayarkan dalam mata uang asing.

Internal:

Biaya Perawatan Pesawat (MRO) meningkat signifikan, dengan tambahan beban lebih dari Rp30 juta.

Penyesuaian Upah Minimum yang naik sekitar 35% sejak 2019 menambah tekanan biaya sekitar Rp12 juta.

Biaya distribusi dan layanan penjualan tiket juga ikut melonjak, sementara pengeluaran untuk bunga pinjaman serta kebutuhan operasional lainnya masing-masing menyumbang kenaikan biaya tersendiri.

Selain itu, restrukturisasi utang dan negosiasi ulang kontrak sewa pesawat pasca pandemi turut memperlambat efisiensi biaya yang seharusnya bisa dicapai lebih awal.

Usulan Penyesuaian Tarif: Fokus pada Durasi, Bukan Sekadar Jarak

Merespons tekanan ini, Garuda Indonesia tengah menjajaki perubahan formula tarif batas atas (TBA) yang saat ini masih berbasis jarak tempuh. Dalam skema baru yang diusulkan ke Kementerian Perhubungan, perhitungan tarif akan mempertimbangkan konsep block hour—yakni waktu efektif dari sejak pesawat bergerak di bandara asal hingga berhenti di tujuan.

Konsep ini dianggap lebih merefleksikan beban operasional sebenarnya. Misalnya, rute dengan jarak pendek tapi memiliki waktu tunggu tinggi karena kepadatan lalu lintas udara bisa saja lebih mahal daripada rute yang lebih panjang namun lancar.

Fenomena ini tak hanya dialami Garuda. Maskapai-maskapai lain seperti Lion Air dan AirAsia juga menghadapi tekanan serupa, meski strategi pengendalian biaya mereka berbeda. 

Maskapai bertarif rendah cenderung menekan layanan dan mengoptimalkan frekuensi penerbangan untuk menjaga tarif tetap kompetitif. Namun, maskapai layanan penuh seperti Garuda memiliki tantangan berbeda, terutama dalam menjaga kualitas pelayanan sembari menekan biaya.

Menurut data IATA, harga bahan bakar jet global mengalami fluktuasi ekstrem dalam dua tahun terakhir, menyumbang lebih dari 30% dari total biaya operasional maskapai secara global. Hal ini memperkuat argumen bahwa revisi skema tarif menjadi keniscayaan untuk menjaga keberlanjutan bisnis.

Perlunya Kebijakan Adaptif

Kenaikan biaya operasional Garuda sepatutnya menjadi alarm bagi pembuat kebijakan untuk meninjau ulang struktur tarif penerbangan di Indonesia. 

Di satu sisi, perlindungan terhadap konsumen tetap penting, namun di sisi lain, ketahanan bisnis maskapai nasional juga tak boleh diabaikan.

Keseimbangan antara regulasi tarif dan fleksibilitas operasional akan menjadi kunci agar industri penerbangan nasional tetap mampu bersaing dan melayani masyarakat secara berkelanjutan.