Ketegangan geopolitik dan tarif tinggi era Trump mendorong negara-negara mengurangi ketergantungan pada dolar AS. (Ist)

Fenomena dedolarisasi semakin mengemuka di panggung global dalam beberapa tahun terakhir. Sejumlah negara mulai mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika Serikat (AS), didorong oleh meningkatnya ketegangan geopolitik serta kebijakan proteksionis, seperti tarif tinggi yang diberlakukan selama masa pemerintahan Donald Trump.

Laporan terbaru dari Goldman Sachs menyebutkan bahwa beberapa mata uang Asia seperti yuan Tiongkok, dolar Singapura, dan won Korea Selatan berpotensi menjadi penerima manfaat utama dari tren ini. 

Meski dolar AS dan euro masih mendominasi cadangan devisa internasional, terlihat adanya pergeseran ke aset alternatif non-tradisional seiring meningkatnya ketidakpastian global. 

Para analis menilai, proses diversifikasi cadangan devisa dari dominasi dolar kemungkinan besar akan terus berlangsung dalam waktu yang lama.

Tiongkok sendiri semakin aktif memajukan peran yuan di panggung internasional. Bank Sentral Tiongkok (People's Bank of China) tengah memperluas penggunaan yuan digital berbasis blockchain dan memperkuat sistem pembayaran lintas batas (CIPS), terutama di kawasan Asia Tenggara. 

Pada Februari 2025, volume jalur swap yuan luar negeri mencapai rekor 4,3 triliun yuan, setara sekitar USD591 miliar.

Sementara itu, dolar Singapura dan won Korea Selatan menunjukkan penguatan yang signifikan terhadap dolar AS dalam beberapa minggu terakhir. 

Goldman Sachs memproyeksikan bahwa permintaan terhadap won akan melonjak jika Korea Selatan bergabung dengan Indeks Obligasi Pemerintah Dunia FTSE pada tahun 2025, karena masuknya investor global yang lebih luas.

Dampak dari kebijakan tarif tinggi AS, yang disebut sebagai yang paling agresif dalam 100 tahun terakhir, juga mendorong negara-negara mitra dagang seperti Tiongkok untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS.

Secara keseluruhan, para ekonom memandang bahwa bank sentral di berbagai belahan dunia akan semakin terdorong untuk melakukan diversifikasi portofolio cadangan devisanya. 

Langkah ini membuka jalan bagi mata uang-mata uang Asia untuk memainkan peran yang lebih besar dalam sistem keuangan internasional, menantang dominasi dolar AS yang selama ini hampir tak tergoyahkan.