Krisis kemanusiaan di Gaza mendorong Uni Eropa dan Inggris untuk meninjau ulang perjanjian dagang dengan Israel. Tekanan internasional, investigasi ICC, dan perpecahan internal UE menjadikan isu ini ujian etika dan hukum global. (X/EU Council)

Uni Eropa tengah menghadapi ujian moral dan politik terbesar dalam dekade terakhir. Di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk di Jalur Gaza, blok Eropa ini secara resmi meninjau ulang Perjanjian Asosiasi UE-Israel, sebuah kesepakatan politik dan ekonomi yang telah menjadi pilar hubungan bilateral sejak tahun 2000.

Tinjauan ini muncul setelah eskalasi kekerasan terbaru yang dilakukan militer Israel sejak awal Mei, diikuti dengan pembatasan ketat terhadap bantuan kemanusiaan. 

Kaja Kallas, Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa, menyebut tindakan Israel hanya "setetes air di lautan" di tengah bencana kemanusiaan yang semakin parah.

Sejumlah negara anggota, seperti Spanyol, Irlandia, dan Belanda, menyerukan agar perjanjian ditangguhkan berdasarkan Pasal 2, yang menyatakan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah syarat fundamental dari perjanjian tersebut.

Namun, negara-negara seperti Jerman, Austria, Hungaria, dan Republik Ceko menolak langkah ini. Jerman beralasan mereka memiliki "tanggung jawab sejarah" terhadap Israel. Seorang pejabat anonim UE menyebut bahwa kekhawatiran terhadap perpecahan internal membuat negara-negara ini "lebih memilih status quo".

Analis kebijakan luar negeri Hugh Lovatt mengkritik ketidakkonsistenan Eropa. 

"UE telah menjatuhkan sanksi terhadap 26 negara atas pelanggaran HAM. Tapi untuk Israel, mereka ragu. Gaza adalah ujian kredibilitas UE," ujarnya.

Selain tekanan politik, aspek hukum juga menguatkan dorongan peninjauan. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tengah menyelidiki dugaan kejahatan perang oleh Israel di Gaza. 

Pembatasan terhadap bantuan kemanusiaan dinilai melanggar Konvensi Jenewa, yang mewajibkan perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata.

Seorang pejabat senior Uni Eropa menegaskan, “Penyelidikan ICC meningkatkan tekanan moral bagi kami untuk bertindak secara hukum dan etis.”

Dampak Ekonomi dan Respons Israel

Nilai perdagangan antara UE dan Israel mencapai €46,8 miliar pada tahun 2023, mencakup sektor strategis seperti farmasi, pertanian, dan teknologi. 

Jika perjanjian ditangguhkan, Israel berpotensi kehilangan akses preferensial ke pasar Eropa, yang dapat memicu tarif impor lebih tinggi dan penurunan ekspor.

Israel merespons keras. Mereka menuding langkah UE sebagai bentuk “diskriminasi politik” dan mengancam akan mencari mitra dagang alternatif seperti Amerika Serikat dan China. 

Duta Besar Israel untuk Inggris, Tzipi Hotovely, menyatakan bahwa blokade terhadap Gaza dimaksudkan untuk “mencegah penyelundupan senjata Hamas.”

Tekanan Internasional: AS, Arab Saudi, dan PBB

Di luar Eropa, tekanan terhadap Israel juga datang dari berbagai aktor global. Inggris telah membekukan pembicaraan perdagangan, dan Menteri Luar Negeri David Lammy menyatakan, "Sejarah akan menghakimi mereka yang memperluas perang dan memblokir bantuan."

PBB mencatat bahwa Gaza membutuhkan 500 truk bantuan per hari, namun yang diizinkan masuk hanya sekitar 20%. Koordinator bantuan PBB, Martin Griffiths, menyebut blokade sebagai “hukuman kolektif” dan “krisis buatan manusia.”

Arab Saudi, melalui Abdullah Al Rabeeah, menyerukan agar UE menggunakan pengaruhnya untuk mendesak pembukaan jalur bantuan secara penuh.

Sementara itu, Mantan Presiden AS Joe Biden menyuarakan keprihatinan, namun menolak opsi sanksi ekonomi. “Israel harus izinkan lebih banyak bantuan, tapi sanksi bukan solusi,” ujarnya.

Gerakan Pengakuan Palestina dan Diplomasi Terpecah

Ketika konsensus di tingkat UE sulit tercapai, sejumlah negara anggota mulai mengambil langkah unilateral. Norwegia, Irlandia, dan Spanyol telah secara resmi mengakui negara Palestina. Prancis dan Belgia tengah mempertimbangkannya. Tren ini juga meluas ke kawasan global, dengan Brasil dan Chili menyatakan dukungan.

Lovatt menilai, “Jika Uni Eropa tidak bisa bertindak bersama, maka negara-negara anggotanya akan bertindak sendiri.”

Di berbagai kota besar Eropa, seperti Brussel, Paris, dan Berlin, ribuan warga turun ke jalan menuntut tindakan nyata terhadap Israel. Survei Eurobarometer 2024 menunjukkan bahwa 55% warga Uni Eropa mendukung pembekuan perjanjian dagang jika terdapat pelanggaran HAM.

Apa yang Bisa Dilakukan UE?

Meski perpecahan politik membuat sanksi ekonomi sulit disepakati, opsi lain tetap tersedia:

• Sanksi target individu, seperti pembekuan aset pejabat militer Israel yang terlibat operasi di Gaza.

• Embargo senjata, yang sudah diterapkan oleh negara seperti Spanyol dan Belgia.

• Revisi mekanisme bantuan, agar lebih mandiri dari izin Israel.

Kasus Gaza bukan sekadar krisis kemanusiaan, melainkan titik balik etis dan geopolitik bagi Uni Eropa. Perjanjian dengan Israel, yang dibangun atas dasar "penghormatan terhadap HAM," kini berada dalam sorotan tajam. 

Jika Uni Eropa gagal menanggapi pelanggaran secara konsisten, maka kredibilitasnya sebagai aktor global pembela hak asasi manusia bisa runtuh.

Kehati-hatian dalam diplomasi memang penting, tetapi ketidakberanian moral bisa sama berbahayanya. Standar ganda tidak hanya merusak reputasi Uni Eropa, tetapi juga memperkuat narasi bahwa hukum internasional hanya berlaku untuk yang lemah. 

Gaza adalah cermin. Dan saat ini, bayangan yang dipantulkannya menunjukkan Eropa yang ragu, terpecah, dan di ambang kehilangan kompas moralnya.

Referensi: Laporan Associated Press dan Reuters