Gedung Otoritas Moneter Singapura atau Monetary Authority of Singapore (MAS). (Foto: AFP / Roslan Rahman)

Singapura kembali berada di bawah bayang-bayang resesi teknikal pada tahun 2025, setelah rilis data produk domestik bruto (PDB) terbaru menunjukkan adanya kontraksi ekonomi secara kuartalan. Meskipun kinerja tahunan masih menunjukkan pertumbuhan, sejumlah indikator memperkuat kekhawatiran pasar terhadap perlambatan yang lebih serius.

Pada kuartal pertama 2025, ekonomi Singapura mencatatkan pertumbuhan tahunan sebesar 3,9%, melampaui estimasi awal 3,8% dan proyeksi Bloomberg sebesar 3,6%. Namun, secara triwulanan (kuartal ke kuartal) dengan penyesuaian musiman, ekonomi justru mengalami penyusutan sebesar 0,6%. 

Meski kontraksi ini lebih ringan dibandingkan perkiraan penurunan 1%, tren ini memicu kekhawatiran akan kemungkinan resesi teknikal jika pola kontraksi berlanjut di kuartal berikutnya.

Dalam konteks ekonomi, resesi teknikal diartikan sebagai dua periode kuartalan berturut-turut di mana PDB mengalami penurunan. 

Meski begitu, menurut Menteri Perdagangan dan Industri Beh Swan Gin, situasi ini belum tentu berarti Singapura akan mengalami resesi menyeluruh, karena indikator tahunan masih menunjukkan ekspansi.

Kondisi global memperparah tekanan terhadap perekonomian Singapura. Aktivitas manufaktur dan ekspor di awal 2025 meningkat berkat percepatan pengiriman sebelum tarif tambahan dari Amerika Serikat diberlakukan. 

Pemerintah AS menerapkan tarif minimal 10% terhadap barang impor, termasuk dari Singapura, meski negara kota ini tidak memiliki defisit perdagangan yang signifikan.

Ketegangan dagang antara AS dan China yang kembali meningkat—walaupun ada jeda tarif selama 90 hari—memunculkan ketidakpastian baru di kawasan Asia Tenggara. 

Sebuah studi dari Yale Budget Lab memperkirakan bahwa kebijakan tarif AS dapat memangkas pertumbuhan PDB global hingga 0,6% dalam jangka panjang.

Beberapa sektor di Singapura tetap menjadi penopang di tengah tekanan ekonomi. Industri manufaktur tumbuh 4% secara tahunan, disusul konstruksi yang mencatatkan kenaikan 5,5%. 

Sektor jasa keuangan juga menunjukkan ketahanan. Sebaliknya, perdagangan grosir, logistik, dan sektor berbasis konsumen mulai tertekan akibat melemahnya permintaan global.

Otoritas Moneter Singapura (MAS) telah dua kali melonggarkan kebijakan moneternya pada Januari dan April 2025, sebagai upaya untuk menjaga daya dorong ekonomi. 

Langkah ini mencerminkan strategi proaktif pemerintah dalam meredam tekanan eksternal. MAS dijadwalkan untuk melakukan peninjauan ulang kebijakan pada Juli, dan sejumlah analis memperkirakan sikap akomodatif akan dipertahankan.

Analis dari Saxo Markets, Charu Chanana, menilai bahwa Singapura masih memiliki ruang fiskal dan kemampuan kebijakan untuk merespons guncangan ekonomi. 

Sementara itu, menurut Chua Hak Bin dari Maybank, jika resesi teknikal benar terjadi, kebijakan moneter yang lebih netral kemungkinan baru bisa diwujudkan pada 2026.

Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) tetap mempertahankan target pertumbuhan ekonomi tahun 2025 di kisaran 0–2%, setelah sebelumnya direvisi dari 1–3% akibat dinamika tarif dan ketidakpastian global. 

Bloomberg Economics memperkirakan pertumbuhan akan berada di level 0,9%, dengan kemungkinan penurunan lebih lanjut jika konflik dagang AS-China kembali memanas.

Di kawasan, negara-negara ASEAN juga terkena dampaknya. Indonesia, misalnya, tengah menghadapi ancaman resesi teknikal setelah ekonomi menyusut hampir 1% pada kuartal pertama 2025. 

Untuk mengantisipasi dampak tarif AS, sejumlah negara seperti Malaysia dan Vietnam telah mengintensifkan diplomasi dagang regional dan mendorong inisiatif seperti Johor-Singapore Special Economic Zone (JS-SEZ) sebagai strategi diversifikasi rantai pasok.

Meskipun Singapura masih mencatatkan pertumbuhan tahunan yang sehat, tren kontraksi kuartalan menunjukkan bahwa tantangan ekonomi belum usai. 

Kebijakan fiskal dan moneter yang fleksibel, didukung oleh diversifikasi sektor dan kerja sama regional, akan menjadi kunci untuk mencegah resesi teknikal berkembang menjadi krisis yang lebih dalam. Pemerintah dan pelaku usaha diharapkan tetap waspada menghadapi volatilitas global yang kian meningkat.