Kerusakan akibat serangan udara Israel pada 13 Mei di luar Rumah Sakit Eropa Gaza di Khan Younis timur, Rabu (14/5/2025). (Ahmad Salem/Bloomberg)

Ketegangan diplomatik kembali memuncak di panggung internasional setelah pernyataan tajam Kepala Bantuan PBB, Tom Fletcher, dalam sebuah pengarahan Dewan Keamanan. Seruannya agar badan dunia tersebut bertindak demi mencegah potensi genosida di Gaza bukan hanya menuai perhatian global, tetapi juga membuka kembali perdebatan panjang tentang batas netralitas lembaga kemanusiaan di tengah konflik bersenjata.

Fletcher, dalam kapasitasnya sebagai koordinator bantuan, menyampaikan kekhawatiran mendalam atas memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza.

Blokade berkepanjangan yang dilakukan Israel terhadap pengiriman bantuan selama lebih dari dua bulan telah menempatkan hampir setengah juta warga dalam ancaman kelaparan akut. 

Dalam konteks ini, Fletcher menyampaikan bahwa Dewan Keamanan memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk mencegah tindakan yang berpotensi diklasifikasikan sebagai genosida.

Namun, pernyataan itu dianggap ofensif dan tidak berdasar oleh pihak Israel. Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, menuduh Fletcher melanggar prinsip netralitas dengan mengeluarkan opini politis, dan menyebut penggunaan istilah “genosida” sebagai sesuatu yang manipulatif serta berbahaya.

Konflik ini mencerminkan ketegangan laten antara dua prinsip fundamental: netralitas lembaga internasional dan kewajiban untuk menyuarakan kebenaran dalam situasi ekstrem. 

Fletcher menanggapi kecaman itu dengan menegaskan bahwa netralitas bukan berarti bungkam terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional. "Tugas saya adalah melapor berdasarkan apa yang saya lihat. Kemanusiaan bukanlah politisasi," ujarnya.

Isu genosida menjadi pusat dari perdebatan ini. Dalam hukum internasional, genosida bukan hanya soal jumlah korban, tetapi tentang niat dan sistematisme untuk menghancurkan kelompok berdasarkan identitasnya. 

PBB sendiri dalam berbagai situasi konflik sebelumnya telah menunjukkan kehati-hatian ekstrem dalam menggunakan istilah ini, karena dampak hukum dan geopolitiknya sangat besar.

Dalam kasus Gaza, lebih dari 53.000 warga Palestina telah tewas sejak Oktober 2023, menurut otoritas lokal, sementara Israel mencatat 1.200 kematian di pihaknya akibat serangan Hamas, dan sekitar 250 orang masih disandera. 

Di tengah angka-angka ini, muncul pertanyaan: apakah komunitas internasional cukup sigap dalam membaca indikator awal dari kejahatan genosida, atau justru menunggu terlalu lama karena takut pada implikasi politis?

Salah satu isu paling kritis yang dibahas Fletcher adalah hambatan terhadap pengiriman bantuan. Meski ribuan truk bantuan telah disetujui oleh Koordinator Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT), kenyataannya akses mereka masih tertahan di perbatasan. 

Fletcher menekankan bahwa ada sistem verifikasi ketat untuk memastikan bantuan tidak disalahgunakan oleh kelompok bersenjata, termasuk Hamas, dan bahwa para pekerja kemanusiaan hanya ingin melaksanakan mandat mereka: menyelamatkan nyawa.

Namun, Israel tetap mempertahankan kekhawatiran bahwa bantuan dapat digunakan untuk memperkuat musuh. Argumen ini memperlihatkan bagaimana keamanan nasional dan kebutuhan kemanusiaan sering kali berjalan pada dua rel yang tak mudah disatukan.

Apa yang terjadi dalam dialog Fletcher dan Danon sebetulnya merefleksikan pergulatan mendalam dunia internasional dalam menyikapi konflik Gaza: antara keharusan bertindak cepat dan keraguan untuk melangkah terlalu jauh. 

Di satu sisi, seruan Fletcher adalah panggilan untuk mencegah bencana yang lebih besar; di sisi lain, respons Israel menunjukkan betapa narasi genosida bisa menjadi instrumen sensitif dalam percaturan geopolitik.

Yang menjadi pertanyaan utama kini adalah: seberapa jauh komunitas internasional bersedia bertindak untuk mencegah kelaparan massal dan potensi genosida, tanpa terperangkap dalam perdebatan semantik dan birokrasi panjang?