Penurunan daya beli, deflasi, hingga tutupnya gerai besar mengindikasikan krisis konsumsi. (tripadvisor.co.id)

Industri ritel Indonesia menghadapi tantangan berat di tahun 2025. Tren deflasi, pergeseran perilaku belanja, hingga tekanan eksternal global membuat para pelaku usaha harus memutar otak demi bertahan. Penurunan daya beli masyarakat menjadi pusat permasalahan yang memicu efek domino terhadap performa bisnis, terutama di sektor ritel dan pusat perbelanjaan.

Data Bank Indonesia menunjukkan terjadinya deflasi tahunan sebesar 0,09% pada Februari 2025, dengan deflasi bulanan mencapai 0,48%. Penurunan harga yang terus-menerus ini mengindikasikan lemahnya permintaan konsumen. 

Selain itu, penurunan indeks tabungan kelas menengah dari 100 poin pada 2023 menjadi 97,1 di tahun ini memperlihatkan bahwa masyarakat mulai mengandalkan tabungan untuk mencukupi kebutuhan harian, sebuah gejala yang disebut sebagai "makan tabungan."

Pola konsumsi masyarakat juga mengalami pergeseran. Jika sebelumnya belanja bulanan menjadi kebiasaan, kini banyak konsumen yang beralih ke belanja harian dengan prioritas pada produk yang lebih ekonomis. Penjualan ritel pun terkena imbasnya, tercatat turun sebesar 6,9% pada April 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Ritel Berguguran, Mal Kelas Bawah Terpukul

Tekanan pada daya beli berimbas langsung pada kinerja pusat perbelanjaan. Mal dengan segmen menengah ke bawah kini hanya mencatat tingkat okupansi sekitar 50%, berbeda jauh dengan mal premium yang masih mampu mempertahankan tingkat sewa hingga 90%.

Beberapa peritel besar mengambil langkah drastis. Lulu Hypermarket, misalnya, resmi menutup beberapa gerai karena terus merugi. Bahkan saat momentum Lebaran, yang biasanya menjadi puncak penjualan tahunan, omzet sektor ritel justru tercatat turun 6% dibandingkan tahun sebelumnya.

Selain faktor domestik, tekanan global juga turut menyumbang pada kelesuan ritel. Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok serta meningkatnya tarif impor berdampak langsung pada industri padat karya Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur—yang menjadi penopang utama banyak tenant ritel.

Di sisi lain, kebijakan fiskal pemerintah dinilai belum memberikan stimulus konkret untuk mendorong daya beli, khususnya kelas menengah. Minimnya dukungan subsidi dan insentif belanja memperpanjang fase stagnasi konsumsi rumah tangga.

Mal Bertransformasi Jadi Tempat Rekreasi

Beberapa pelaku usaha mencoba keluar dari tekanan dengan strategi inovatif. Mal premium mulai bertransformasi menjadi pusat rekreasi, bukan sekadar tempat berbelanja. 

Mereka menghadirkan atraksi seperti kebun binatang digital, wahana go-kart, dan ruang bermain interaktif demi menarik kunjungan keluarga.

Strategi ini terbukti lebih adaptif, mengingat konsumen saat ini cenderung mengalokasikan pengeluaran pada pengalaman (experience spending) ketimbang konsumsi barang.

Kolaborasi Jadi Kunci Bertahan

Kolaborasi antara peritel dan pemasok juga mulai diperkuat. Inisiatif dari komunitas seperti Asosiasi Matahari’s Suppliers Club (AMSC) yang bekerja sama dengan HIPPINDO untuk menggelar promosi bersama, dinilai dapat menjaga daya saing dan meningkatkan trafik ke gerai fisik.

Menurut pengamat ritel, langkah ini bisa menjadi solusi jangka pendek untuk mendorong transaksi tanpa membebani margin masing-masing pihak terlalu besar.

Ke depan, tantangan bisa semakin berat. Jabodetabek diprediksi akan kedatangan tambahan pasokan mal baru sebesar 10% pada akhir 2025. Di tengah menurunnya trafik pengunjung dan belanja, peningkatan pasokan ini dikhawatirkan memperparah kompetisi antar pusat belanja.

Contoh seperti Pakuwon Mall Surabaya—yang mengusung konsep one-stop living dengan integrasi hunian, hiburan, dan perkantoran—bisa menjadi inspirasi. Model seperti ini terbukti lebih tahan banting karena menawarkan nilai tambah lebih dari sekadar belanja.

Tahun 2025 bisa jadi masa kritis bagi sektor ritel Indonesia. Kombinasi antara melemahnya daya beli, tekanan global, dan kurangnya stimulus menjadikan pemulihan semakin menantang. Namun, melalui adaptasi konsep, sinergi bisnis, dan dukungan kebijakan yang tepat, sektor ini masih punya peluang untuk bangkit kembali.