Di bawah pemerintahan Prabowo Subianto, Indonesia menetapkan ambisi besar: pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% selama periode 2025–2029. Sasaran ini bukan sekadar angka optimistis, tetapi cerminan dari tekad untuk mengakselerasi transformasi struktural, dengan fokus utama pada industrialisasi, digitalisasi, ekonomi biru, serta penarikan investasi asing langsung (FDI) dalam skala besar yang ditaksir mencapai US$850 miliar dalam lima tahun.
Salah satu sektor kunci yang akan menjadi penggerak pertumbuhan ini adalah sektor maritim. Dengan posisi geografis strategis sebagai negara kepulauan terbesar di dunia—membentang lebih dari 17.000 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 108.000 km—Indonesia memiliki modal alam yang luar biasa untuk menjadi kekuatan maritim global.
Namun, potensi itu selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Saat ini, kontribusi sektor maritim terhadap PDB nasional masih berada di kisaran 7%. Pemerintah menargetkan peningkatan signifikan hingga 15% pada tahun 2045, seiring percepatan investasi dan reformasi kebijakan.
Pada 2025, investasi di sektor ini dipatok mencapai Rp1.900 triliun. Realisasi kuartal pertama telah menunjukkan arah yang positif: Rp136,3 triliun atau hampir 30% dari total investasi nasional telah diserap oleh sektor maritim.
Ini menjadi indikasi bahwa para investor mulai melihat prospek cerah dari transformasi ekonomi laut Indonesia. Sub-sektor kelautan dan perikanan sendiri diharapkan menarik investasi senilai US$15,3 miliar hingga 2040—angka yang menegaskan komitmen terhadap penguatan ekonomi berbasis sumber daya laut.
Strategi pembangunan sektor maritim mencakup penguatan infrastruktur, khususnya jalur pelayaran strategis seperti ALKI II yang merupakan nadi perdagangan internasional.
Melalui kemitraan dengan Australia—di mana 60% arus perdagangan negara tersebut melintasi jalur ini—dan Tiongkok yang menanamkan investasi di Hainan dan Xiamen untuk industri perikanan, Indonesia ingin menempatkan dirinya sebagai simpul penting dalam rantai logistik maritim Asia Pasifik.
Pendekatan ini selaras dengan konsep "dari laut ke darat", di mana sektor maritim tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi basis integratif bagi sektor lain seperti energi terbarukan, pariwisata bahari, hingga bioteknologi laut.
Di sisi hilirisasi, pemerintah menaruh perhatian besar pada pembangunan industri perikanan berkelanjutan, pengembangan energi laut seperti Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), dan revitalisasi galangan kapal nasional dengan teknologi tinggi.
Untuk mempercepat transformasi ini, digitalisasi menjadi elemen krusial. Inisiatif seperti penerapan blockchain, AI, dan IoT dalam pengelolaan pelabuhan dan logistik laut sudah mulai diujicobakan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan transparansi rantai pasok.
Dalam konteks ini, event seperti Indonesia Maritime Week (IMW) 2025 diharapkan menjadi titik tolak pembentukan ekosistem maritim cerdas yang terkoneksi secara global.
Namun, jalan menuju ambisi ini tidak bebas hambatan. Infrastruktur dasar di kawasan pesisir masih tertinggal, dengan 68% masyarakat pesisir hidup dalam kemiskinan akibat keterbatasan fasilitas seperti cold storage dan akses komunikasi.
Selain itu, perikanan ilegal masih menjadi momok, menyebabkan kerugian hingga US$201 juta per tahun menurut data 2013–2018. Untuk itu, perbaikan regulasi melalui RPJMN 2025–2029 dan pemberian insentif fiskal bagi investasi berkelanjutan menjadi bagian dari solusi jangka panjang.
Pengalaman negara lain dapat menjadi cermin. Norwegia, misalnya, berhasil mengembangkan klaster maritim yang efisien dan berkelanjutan, sementara Tiongkok terus memperluas pengaruhnya melalui Jalur Sutra Maritim dengan investasi agresif di pelabuhan-pelabuhan strategis dunia.
Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kedua model ini—dengan tetap menyesuaikan pada konteks lokal dan keberagaman sosial-ekonomi dalam negeri.
Bank Dunia dalam laporan Toward a Blue Economy in Indonesia (2021) mencatat bahwa pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan berpotensi menghasilkan manfaat ekonomi lebih besar dalam jangka panjang.
Sementara itu, OECD dalam The Ocean Economy in 2030 memperkirakan bahwa ekonomi laut global akan bernilai lebih dari US$3 triliun pada 2030, dengan sektor perikanan, energi laut, dan pariwisata sebagai penyumbang utama.
Jika Indonesia mampu menavigasi kebijakan secara konsisten dan inklusif, maka bukan mustahil negara ini menjadi poros maritim dunia sekaligus mencapai target pertumbuhan ekonominya yang ambisius.
0Komentar