Amerika Serikat kembali menunjukkan komitmennya terhadap kekuatan nuklir strategis dengan melakukan uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) Minuteman III yang tidak bersenjata pada 21 Mei 2025, pukul 00:01 waktu setempat.
Peluncuran dilakukan dari Pangkalan Angkatan Luar Angkasa Vandenberg di California dan menempuh jarak sekitar 6.700 kilometer hingga mencapai Atol Kwajalein di Kepulauan Marshall, membawa kendaraan reentry Mark-21 yang tidak bersenjata.
Meski bersifat rutin dan telah dilakukan lebih dari 300 kali sejak era Perang Dingin, uji coba ini tetap memiliki makna strategis yang besar, terutama di tengah meningkatnya ketegangan global antara Amerika Serikat, Rusia, dan China.
Dalam pernyataannya, Jenderal Thomas Bussiere dari Komando Serangan Global menekankan bahwa tes ini menunjukkan kesiapan elemen ICBM dalam triad nuklir AS, serta dedikasi para personel yang menjaga keamanan nasional dan sekutu.
"Peluncuran ini menegaskan kesiapan elemen ICBM dari triad nuklir kami... dipelihara oleh personel Angkatan Udara yang berdedikasi demi keamanan nasional dan sekutu," ujar Bussiere.
Sebagai bagian dari komitmennya terhadap transparansi, AS telah memberi pemberitahuan kepada Rusia sebelum peluncuran sesuai dengan Kode Etik Den Haag (HCoC).
Namun, China tetap enggan bergabung dengan perjanjian tersebut, dengan alasan menjaga kerahasiaan strategisnya. Sikap tertutup ini mencerminkan kekhawatiran Beijing akan dominasi teknologi Barat atas postur militernya.
Ironisnya, meski AS terbuka mengenai uji cobanya, Rusia justru dikabarkan membatalkan rencana peluncuran ICBM RS-24 Yars yang awalnya dimaksudkan sebagai sinyal tekanan kepada NATO. Sementara itu, China terus mengembangkan kapabilitasnya, termasuk dengan uji coba DF-31AG pada 2024.
Minuteman III, yang telah beroperasi sejak 1970-an, masih menjadi tulang punggung pertahanan nuklir AS dengan 400 unit aktif yang tersebar di lima negara bagian: Colorado, Montana, Nebraska, Dakota Utara, dan Wyoming. Namun, sistem ini akan digantikan oleh LGM-35 Sentinel yang dijadwalkan aktif pada 2030.
Sayangnya, proyek Sentinel tidak lepas dari tantangan. Biaya pengembangan membengkak hingga mencapai $140,9 miliar, dan penundaan terus terjadi akibat kendala infrastruktur dan logistik.
Hal ini menyoroti paradoks dalam sistem pertahanan Amerika—di satu sisi, mereka mempertahankan rudal tua yang tetap andal; di sisi lain, modernisasi menghadapi hambatan signifikan.
"Penundaan dan lonjakan biaya Sentinel mencerminkan tantangan infrastruktur, namun proyek ini tetap krusial untuk modernisasi kekuatan penangkal nuklir."
Meski uji coba ini tidak terkait langsung dengan perkembangan geopolitik terkini, waktu peluncurannya tidak bisa dilepaskan dari konteks global yang memanas.
Tekanan G7 terhadap China untuk menghentikan dukungan militernya kepada Rusia dalam perang Ukraina, serta meningkatnya aktivitas militer di Indo-Pasifik, membuat setiap langkah militer AS—termasuk uji coba ini—menjadi sorotan dunia.
Namun penting untuk diingat, peluncuran ini bukan sinyal agresi, melainkan simbol stabilitas. Dengan tetap menjalankan prosedur yang transparan dan teknis, AS mengirim pesan bahwa kekuatan nuklirnya bukan alat provokasi, melainkan penjamin perdamaian dalam doktrin deterensi.
Ketika dunia kembali bergeser menuju persaingan kekuatan besar, keberadaan sistem senjata seperti Minuteman III tetap menjadi paradoks: senjata penghancur massal yang justru dijaga demi mencegah penggunaannya.
Transparansi seperti HCoC harus terus didorong secara global, termasuk oleh negara-negara seperti China, agar ketegangan strategis tidak berubah menjadi konflik terbuka. Modernisasi senjata memang penting, tetapi tanggung jawab moral dan diplomasi tidak kalah pentingnya dalam menjaga masa depan dunia.
0Komentar