![]() |
| Mesin waktu selalu jadi impian manusia, tapi sains menunjukkan hal sebaliknya. Dari teori relativitas Einstein hingga paradoks waktu. |
Ide tentang mesin waktu selalu menggoda manusia. Dari film klasik Back to the Future hingga petualangan ruang-waktu di Interstellar, kita membayangkan betapa serunya melompat ke masa depan untuk melihat peradaban yang lebih maju atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan.
Tapi di balik semua imajinasi itu, pertanyaan besar tetap menggantung apakah mungkin mesin waktu benar-benar diciptakan?
Jawaban jujurnya, sejauh ini tidak ada bukti atau teori ilmiah yang membuatnya betul-betul mungkin. Bahkan, banyak ilmuwan berpendapat bahwa mesin waktu tidak hanya sulit, tapi mustahil secara logika dan fisika.
Dan salah satu argumen terkuat datang dari hal yang sangat sederhana kalau mesin waktu bisa dibuat, seharusnya orang dari masa depan sudah datang ke masa kini, tapi nyatanya tidak ada.
Pernyataan ini terdengar sepele, tapi justru menjadi sanggahan paling tajam terhadap konsep mesin waktu. Bayangkan, jika manusia di masa depan sudah menemukan cara untuk menembus waktu, tentu mereka memiliki alasan kuat untuk mengunjungi masa kini seperti penelitian sejarah, nostalgia, atau bahkan alasan pribadi.
Namun, sampai sekarang, tak pernah ada tanda-tanda keberadaan pengunjung dari masa depan. Tidak ada penampakan misterius yang benar-benar bisa dibuktikan secara ilmiah, tidak ada pertemuan dengan “ilmuwan abad 28”, tidak ada bukti artefak yang berasal dari waktu yang belum terjadi. Semua hanya berakhir sebagai teori konspirasi atau cerita fiksi.
Fisikawan legendaris Stephen Hawking bahkan pernah menyindir hal ini dengan gaya khasnya
“Jika perjalanan waktu ke masa lalu mungkin, mengapa kita tidak dibanjiri oleh turis dari masa depan?”
Pernyataan itu kemudian dikenal sebagai chronology protection conjecture atau hipotesis perlindungan kronologi. Hawking percaya bahwa alam semesta memiliki cara untuk melindungi dirinya dari paradoks waktu. Dengan kata lain, hukum alam secara alami akan mencegah apa pun yang bisa mengacaukan hubungan sebab-akibat.
Bayangkan skenario klasik grandfather paradox. Jika seseorang kembali ke masa lalu dan mencegah kakeknya menikah, maka ia tidak akan pernah lahir. Tapi kalau ia tidak pernah lahir, bagaimana mungkin ia bisa kembali ke masa lalu untuk mencegah hal itu?
Paradoks seperti ini menunjukkan bahwa perjalanan waktu ke masa lalu menghancurkan logika kausalitas, dasar dari semua hukum fisika. Waktu, sebagaimana kita pahami, memiliki arah yang jelas dari sebab menuju akibat, bukan sebaliknya.
Itulah sebabnya sebagian besar ilmuwan meyakini bahwa perjalanan ke masa lalu tidak hanya sulit secara teknis, tapi juga tidak konsisten secara logis. Bahkan jika secara teori ruang-waktu bisa “dilipat”, hukum sebab-akibat akan tetap melindungi dirinya agar tidak terjadi kontradiksi.
Meski begitu, bukan berarti perjalanan waktu sepenuhnya mustahil. Teori relativitas khusus Einstein membuktikan bahwa waktu tidak mutlak. Waktu berjalan lebih lambat bagi objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya — fenomena yang disebut time dilation atau dilatasi waktu.
Efek ini bukan teori belaka. Astronot yang mengorbit Bumi di Stasiun Luar Angkasa Internasional mengalami waktu yang sedikit lebih lambat dibanding kita di permukaan Bumi. Memang selisihnya sangat kecil, hanya beberapa milidetik, tapi secara prinsip, itu sudah “perjalanan ke masa depan”.
Jika manusia bisa bergerak mendekati kecepatan cahaya, selisih waktu itu akan makin besar. Seseorang bisa mengalami beberapa jam di kapal luar angkasa, sementara di Bumi telah berlalu bertahun-tahun. Jadi, perjalanan ke masa depan secara satu arah memang mungkin tapi bukan dengan mesin waktu yang bisa bolak-balik sesuka hati.
Satu-satunya celah teoretis untuk perjalanan waktu dua arah muncul dari konsep wormhole atau lubang cacing, yakni, jalan pintas ruang-waktu yang menghubungkan dua titik berbeda di alam semesta. Dalam teori relativitas umum, wormhole mungkin bisa ada, tapi masalahnya ia tidak stabil.
Agar lubang cacing tetap terbuka dan bisa dilalui, dibutuhkan materi dengan energi negatif, sesuatu yang belum pernah ditemukan di alam. Tanpa itu, wormhole akan runtuh lebih cepat dari kecepatan cahaya, menghancurkan siapa pun yang mencoba melewatinya.
Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa energi negatif mungkin ada dalam bentuk efek kuantum kecil seperti Casimir effect, tapi jumlahnya terlalu kecil untuk membangun mesin waktu skala besar. Artinya, secara teknologi, kita masih sangat jauh. bahkan mungkin tidak akan pernah sampai.
Ada teori menarik yang mencoba menjawab pertanyaan “Kalau mesin waktu bisa dibuat, kenapa kita belum melihat pengunjung dari masa depan?”
Jawabannya karena pintu waktunya belum ada.
Menurut teori ini, mesin waktu hanya bisa mengakses waktu setelah mesin itu pertama kali diaktifkan. Artinya, jika seseorang di masa depan membuat mesin waktu tahun 2400, mereka hanya bisa kembali ke tahun 2400 bukan ke tahun 2025, karena “pintu” menuju masa kini belum terbuka.
Analogi sederhananya seperti pintu geser yang baru dibuat hari ini, tidak peduli seberapa canggih pintu itu, kamu tidak bisa menggunakannya untuk masuk ke hari kemarin.
Meski terdengar masuk akal, teori ini tetap bersifat spekulatif. Hingga kini, belum ada bukti matematis maupun fisik yang mendukung kemungkinan tersebut.
Selain teori relativitas, konsep waktu juga erat kaitannya dengan entropi—ukuran ketidakteraturan dalam sistem. Dalam hukum termodinamika, entropi selalu meningkat seiring waktu. Gelas yang jatuh dan pecah bisa dijelaskan secara fisika, tapi pecahan gelas yang tiba-tiba menyatu kembali melawan hukum alam.
Itulah sebabnya waktu terasa “bergerak maju”.
Peningkatan entropi adalah tanda bahwa alam semesta terus berkembang menuju keadaan yang lebih acak dan tak teratur. Membalik waktu berarti membalik arah entropi, sesuatu yang bertentangan dengan sifat dasar energi itu sendiri.
Dengan demikian, dari sudut pandang termodinamika, waktu bersifat satu arah dan tak dapat dibalik.
Meski begitu, manusia tetap terpesona oleh ide mesin waktu. Dari karya H.G. Wells hingga film modern seperti Tenet dan Doctor Strange, waktu selalu menjadi medan eksplorasi imajinatif yang memancing rasa ingin tahu kita tentang sebab, akibat, dan takdir.
Mungkin, daya tarik mesin waktu bukan karena kemungkinan teknologinya, tetapi karena kerinduan manusia terhadap kesempatan kedua.
Kita ingin memperbaiki kesalahan, menyelamatkan orang yang telah pergi, atau sekadar melihat apakah keputusan kita dulu benar. Mesin waktu adalah simbol dari keinginan terdalam manusia untuk mengendalikan waktu sesuatu yang sebenarnya di luar jangkauan kita.

0Komentar