![]() |
| PBB memperingatkan kelaparan di Jalur Gaza berisiko meluas dari wilayah utara ke selatan pada akhir September 2025, di tengah operasi militer Israel yang terus meningkat. (WHO) |
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan pada Minggu (7/9) bahwa hanya tersisa waktu singkat hingga akhir September untuk mencegah kelaparan yang kini terjadi di Gaza utara meluas ke wilayah tengah dan selatan Jalur Gaza. Peringatan itu datang ketika Israel meningkatkan operasi militernya di Kota Gaza di tengah krisis kemanusiaan yang kian memburuk.
“Ada waktu yang sempit hingga akhir September untuk mencegah kelaparan menyebar ke Deir al Balah dan Khan Younis. Jendela waktu tersebut kini semakin tertutup,” kata Tom Fletcher, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat.
Dua pekan lalu, Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) mengonfirmasi kondisi kelaparan di Kota Gaza dan Gaza utara, menjadi deklarasi resmi pertama di kawasan Timur Tengah.
Laporan itu menyebut lebih dari setengah juta orang kini hidup dalam kelaparan, ditandai dengan kemiskinan ekstrem, kurangnya pangan, serta meningkatnya angka kematian yang seharusnya bisa dicegah.
Data PBB memperlihatkan hingga akhir September, 640.000 orang diperkirakan menghadapi kondisi ketahanan pangan yang sangat buruk di seluruh Gaza. Sejak Juli, lebih dari 12.000 anak teridentifikasi mengalami kekurangan gizi akut, enam kali lipat lebih tinggi dibanding awal tahun.
Peringatan PBB muncul seiring eskalasi militer Israel di Kota Gaza. Pasukan Israel mengklaim telah menguasai sekitar 40 persen dari pusat kota terbesar di wilayah tersebut. Pada Sabtu (6/9), juru bicara militer Avichay Adraee mengeluarkan perintah evakuasi baru, meminta warga pindah ke “zona kemanusiaan” Al-Mawasi di Gaza selatan dekat Khan Younis.
Militer Israel juga menjatuhkan ribuan selebaran di lingkungan barat Kota Gaza. Warga disebut hanya diberi waktu 20 menit untuk meninggalkan area sebelum serangan udara menghantam gedung-gedung tinggi. Dua blok menara menjadi target serangan dalam beberapa hari terakhir. Israel menuduh bangunan itu digunakan Hamas untuk mengumpulkan intelijen, klaim yang dibantah oleh kelompok militan tersebut.
Badan pertahanan Israel, COGAT, melaporkan lebih dari 1.900 truk bantuan, sebagian besar berisi makanan, telah masuk ke Gaza dalam sepekan terakhir.
“Kami akan terus memfasilitasi bantuan kemanusiaan ke Gaza untuk populasi sipil bukan Hamas,” kata COGAT.
Di lapangan, warga Palestina menghadapi dilema antara tetap tinggal di zona perang atau mengungsi ke wilayah selatan yang penuh sesak. Abu Amer al-Sharif, warga Kota Gaza, menuturkan kepada UN News bahwa biaya evakuasi sangat membebani keluarga.
“Tidak ada gaji dari pihak berwenang dan orang-orang tidak memiliki penghasilan. Keluarga diharuskan membayar ribuan dolar untuk tempat-tempat yang mereka tuju,” ujarnya.
Hossam Madi, warga lainnya, mengatakan ia membongkar perabotan untuk dijual sebagai kayu bakar demi membeli bahan pangan.
“Kami tidak punya cukup uang untuk pindah ke Jalur Gaza bagian selatan. Saya memecah kayu untuk dijual agar bisa membeli satu kilogram tepung untuk sarapan atau makan siang,” katanya.
Komite Palang Merah Internasional menyebut perintah evakuasi massal sebagai sesuatu yang “tidak dapat dipahami” dan memperingatkan wilayah selatan kini sudah kekurangan air, tempat tinggal, serta layanan medis.
Perang yang memasuki tahun kedua sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 64.000 warga Palestina, menurut pejabat kesehatan Gaza. Di pihak Israel, 1.200 orang meninggal dalam serangan Hamas, sementara 48 sandera masih diyakini ditahan di Gaza dengan sekitar 20 di antaranya diyakini masih hidup.
Dalam pernyataannya, Fletcher menegaskan bahwa kelaparan di Gaza “dapat dicegah” dengan gencatan senjata segera, akses kemanusiaan tanpa batas, pelaksanaan keputusan sementara Mahkamah Internasional, serta pembebasan semua sandera.

0Komentar