Celios meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa soal hukum gaji wakil menteri yang merangkap komisaris BUMN, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang rangkap jabatan sejak 28 Agustus 2025. (Bisnis/Akbar Evandio)

Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa soal hukum menerima gaji dari jabatan rangkap wakil menteri yang juga menjabat sebagai komisaris BUMN. Permintaan itu disampaikan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) melarang rangkap jabatan melalui putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 pada 28 Agustus 2025. Hingga kini, larangan tersebut belum dijalankan penuh oleh pemerintah.

Direktur Kebijakan Publik Celios, Wahyu Askar, pada Selasa (9/9/2025) di Jakarta menyatakan, fatwa MUI dibutuhkan agar pejabat negara Muslim tidak berada dalam posisi abu-abu ketika menerima penghasilan yang sudah jelas dilarang. 

“Putusan Mahkamah Konstitusi jelas melarang rangkap jabatan Menteri dan Wakil Menteri sebagai komisaris BUMN. Namun, hingga kini larangan itu belum dijalankan,” ujarnya.

Sebelum ada putusan MK, larangan rangkap jabatan hanya berlaku bagi menteri, sesuai Pasal 23 UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara. Wakil menteri tidak disebutkan secara eksplisit, sehingga ada celah hukum yang memungkinkan mereka duduk sebagai komisaris BUMN. Celios menilai praktik itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Pada 2019, MK sempat menafsirkan bahwa larangan itu berlaku juga bagi wakil menteri melalui putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019. 

Namun karena tidak tertulis dalam amar putusan, pemerintah tidak sepenuhnya menaatinya. Putusan terbaru MK tahun ini menutup celah tersebut sekaligus memberi tenggat dua tahun bagi pemerintah untuk menyesuaikan aturan.

Celios melalui surat resmi bernomor 72/CELIOS/IX/2025 mengajukan tiga pertanyaan kepada MUI: status hukum penghasilan yang diterima dari jabatan rangkap, apakah penghasilan itu halal, syubhat, atau haram, dan sikap yang seharusnya diambil pejabat negara Muslim terkait putusan MK.

“Ketika pejabat negara masih menerima penghasilan dari jabatan yang sudah jelas dilarang, maka ada persoalan etis yang harus dijawab,” kata Wahyu Askar menambahkan.

Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Dr. KH. Asrorun Ni’am Sholeh, membenarkan adanya permintaan tersebut. Namun ia menegaskan bahwa pihaknya belum menerima secara langsung permohonan untuk pembahasan fatwa. 

“Sampai sekarang belum ada pembahasan di Komisi Fatwa MUI soal gaji wamen rangkap jabatan. Kami baru mengetahui adanya surat permohonan resmi dari Celios,” kata Asrorun.

Ia menjelaskan, MUI memiliki kewenangan memberikan panduan syariah bagi kebijakan publik. Fatwa, menurutnya, bertujuan mewujudkan kemaslahatan masyarakat dan bisa dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan.

Putusan MK sekaligus desakan Celios membuat isu rangkap jabatan kembali mengemuka di ruang publik. Perdebatan kini tidak hanya soal kepatuhan hukum, tetapi juga menyentuh ranah etika dan moral pejabat negara, khususnya yang beragama Islam.