![]() |
| Israel dikabarkan siap melanjutkan serangan ke Iran setelah konflik berdarah bulan Juni. Netanyahu menanti restu Trump, sementara sabotase diam-diam terus berlanjut. (Ap Photo) |
Ketegangan Teluk memanas lagi. Pasca-perang 12 hari yang meletus pada Juni lalu dan menewaskan lebih dari 1.000 warga Iran serta 29 orang Israel, Tel Aviv disebut-sebut tengah mempersiapkan aksi militer lanjutan terhadap Teheran.
Operasi besar itu sebelumnya menghantam fasilitas militer dan nuklir Iran di Natanz, Isfahan, hingga Fordow dan dinilai membuat program nuklir Iran mundur 1 hingga 2 tahun.
Meski kedua pihak telah menyetujui gencatan senjata, sinyal lanjutan dari Israel mulai terbaca. PM Benjamin Netanyahu secara terbuka menegaskan bahwa tekanan terhadap Iran tidak akan dikendurkan.
“Kami tidak berniat mengendurkan tekanan,” ujarnya, dikutip dari Al Jazeera, Jumat (25/7).
Analis Timur Tengah Trita Parsi menilai langkah Israel kali ini bukan sekadar serangan pre-emptive, tapi bagian dari strategi jangka panjang untuk membuat Iran “seperti Suriah atau Lebanon” target yang bisa diserang kapan saja tanpa konsekuensi serius.
Menurutnya, Israel melihat momentum jika negara-negara Eropa kembali menjatuhkan sanksi terhadap Iran, terutama bila negosiasi nuklir gagal sebelum tenggat akhir Agustus.
Diskusi kembalinya sanksi juga tengah berlangsung. Menlu AS Marco Rubio dikabarkan telah menggelar pembicaraan tertutup dengan diplomat dari Jerman, Prancis, dan Inggris.
Jika sanksi diaktifkan kembali, Iran diyakini akan keluar dari perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), membuka celah hukum dan diplomatik bagi Israel untuk kembali menggempur.
Meski tidak ada serangan terbuka dalam sebulan terakhir, sejumlah insiden misterius terjadi di Iran: ledakan di kilang minyak, kebakaran di kompleks industri, hingga kerusakan listrik di pabrik militer.
Laporan The New York Times dan Atlantic Council menyebutkan, sabotase itu diyakini kuat sebagai bagian dari operasi rahasia Israel melalui jaringan Mossad yang sudah tertanam dalam di Iran. Bahkan beberapa operasi melibatkan drone kamikaze dan serangan siber presisi.
Negar Mortazavi, analis Iran dari Center for International Policy di Washington DC, menyebut Netanyahu kini telah menemukan “formula baru” untuk menyerang tanpa menimbulkan reaksi global. “Bahkan tanpa restu dari Trump,” katanya.
Sikap Netanyahu memang berubah. Jika dulu ia berhati-hati dan cenderung menahan diri, kini justru agresif menyerang sejumlah negara dan kelompok, termasuk Lebanon, Suriah, Yaman, dan tentu saja Gaza. Serangan lintas batas itu mencerminkan strategi luar negeri Israel yang makin ekspansif sejak Mei lalu.
Namun, semua tindakan militer besar Israel tetap bergantung pada restu dari Washington. Meir Javedanfar, dosen studi Iran di Universitas Reichman, menyebut restu Presiden AS Donald Trump masih jadi kunci.
“Israel membutuhkan persetujuan AS dan Presiden Trump. Dan itu kemungkinan kecil, mengingat kekhawatiran AS terhadap serangan Israel di Suriah,” jelasnya.
Hal senada disampaikan Ori Goldberg dari Tel Aviv. Ia menyebut bahwa serangan terbuka Israel ke Iran sangat bergantung pada dukungan sekutu utamanya.
“Trump memang sulit ditebak, dan Israel ingin tetap berada di sisi yang benar dari garis apa pun yang ia buat,” katanya. Namun, ia menegaskan, “Iran adalah isu konsensus di Israel. Orang mungkin berdebat soal Gaza, tapi tidak soal Iran.”
Di sisi lain, Presiden Iran Masoud Pezeshkian tidak tinggal diam. Ia meragukan kelanggengan gencatan senjata dan menyatakan bahwa negaranya siap menghadapi kemungkinan serangan berikutnya.
Terlebih, laporan intelijen Iran menyebut telah terjadi upaya pembunuhan terhadap Pezeshkian pada 16 Juni lalu, diduga kuat dilakukan Israel, meski gagal.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa jika eskalasi kembali terjadi, Iran bisa merespons lebih keras dari sebelumnya. Pada serangan balasan pertengahan Juni lalu, Iran sempat meluncurkan lebih dari 150 rudal balistik dan 100 drone ke wilayah Israel.
Meski sebagian besar berhasil dihalau sistem pertahanan Iron Dome, serangan itu menunjukkan bahwa Teheran juga siap bermain keras.
Perang bayangan yang selama ini dijalankan lewat sabotase dan spionase kini bergerak menuju fase yang lebih terbuka.
Bila sanksi internasional terhadap Iran kembali diberlakukan dan diplomasi nuklir gagal total, bukan tidak mungkin kawasan Timur Tengah kembali memanas dan dunia menyaksikan babak baru dari konflik Israel-Iran yang belum kunjung selesai.

0Komentar