Dunia kembali dikejutkan oleh memanasnya situasi di Timur Tengah. Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke Iran, menargetkan fasilitas nuklir dan militer di berbagai wilayah, termasuk ibu kota Teheran. Serangan ini segera memicu respons keras dari Iran dan menimbulkan kekhawatiran global akan potensi konflik yang lebih luas.
Dalam operasi yang diberi nama Operation Rising Lion, Israel mengerahkan lebih dari 200 pesawat tempur, termasuk jet siluman F-35I "Adir", untuk menghantam sekitar 100 target strategis di Iran.
Sasaran utama meliputi fasilitas nuklir di Natanz dan Fordow, pangkalan militer, serta sistem radar pertahanan udara. Pemerintah Iran melaporkan sedikitnya 90 korban jiwa, sebagian besar warga sipil, serta lebih dari 300 orang terluka.
Di antara korban tewas terdapat sejumlah tokoh penting, termasuk Komandan Garda Revolusi Hossein Salami, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Mohammad Bagheri, dan beberapa ilmuwan nuklir senior.
Israel menyatakan bahwa serangan ini adalah langkah preventif terhadap apa yang mereka sebut sebagai program senjata nuklir Iran yang "nyaris mencapai titik tidak bisa kembali." Namun, komunitas internasional menilai aksi ini sangat berisiko karena dapat memperluas konflik di kawasan yang sudah rapuh.
Sebagai respons, Iran meluncurkan operasi balasan bertajuk True Promise III. Lebih dari 100 drone dan 150 rudal balistik ditembakkan ke arah Israel, menargetkan kota Tel Aviv dan beberapa instalasi militer.
Serangan tersebut menyebabkan satu warga sipil Israel meninggal dunia dan 63 lainnya terluka, sebagian dalam kondisi kritis.
Kerusakan dilaporkan terjadi di sejumlah area, termasuk bangunan apartemen di Ramat Gan. Kelompok Houthi di Yaman, yang bersekutu dengan Iran, turut meluncurkan rudal ke wilayah Israel selatan, mengenai kota Hebron dan melukai lima warga Palestina.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengecam keras serangan Israel dan berjanji akan ada “konsekuensi pahit.” Meski militer Iran mengklaim berhasil mencegat sebagian besar serangan Israel, kerusakan berat tetap terjadi di sejumlah lokasi strategis.
Ketegangan yang meningkat ini langsung mendapat perhatian dunia internasional. Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, dalam pernyataannya di Stockholm, menilai serangan Israel sebagai tindakan sepihak yang bisa memperburuk situasi.
Ia mendesak semua pihak, terutama negara-negara sekutu Israel seperti Amerika Serikat, untuk segera mendorong de-eskalasi.
"Prioritas utama saat ini adalah mencegah krisis ini berubah menjadi konflik yang lebih luas," ujar Rutte.
Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson, juga menyampaikan kekhawatiran. Ia menegaskan bahwa meski komunitas internasional tidak bisa menerima Iran memiliki senjata nuklir, solusi harus dicapai melalui jalur diplomasi, bukan kekerasan bersenjata.
Negara-negara seperti China, Indonesia, dan Arab Saudi mengutuk serangan Israel dan menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Iran. Di sisi lain, Amerika Serikat, lewat Presiden Donald Trump, menyatakan dukungannya terhadap tindakan Israel sambil mendorong Iran untuk menerima kesepakatan nuklir baru.
Beberapa negara Eropa seperti Jerman dan Ceko juga menyatakan solidaritas terhadap Israel, menganggap program nuklir Iran sebagai ancaman nyata.
Serangan ini berdampak signifikan terhadap ekonomi global. Harga minyak mentah melonjak lebih dari 11% dalam beberapa jam setelah serangan, memicu kekhawatiran akan lonjakan inflasi global. Nilai dolar AS menguat, sementara harga bitcoin turun tajam hingga menyentuh angka $103.000.
Sektor penerbangan juga terguncang. Maskapai-maskapai besar seperti Lufthansa dan Air France membatalkan atau mengalihkan rute yang melewati wilayah Timur Tengah.
Di Israel, pemerintah mengumumkan status darurat, menutup ruang udara, dan memobilisasi puluhan ribu pasukan cadangan.
Sejumlah negara meningkatkan keamanan domestik, termasuk di bandara, pusat kota, dan kawasan yang dianggap berisiko menjadi target aksi balasan atau terorisme.
Serangan Israel ke Iran telah menambah ketidakpastian di Timur Tengah, memperbesar kemungkinan konflik regional yang lebih luas. Di tengah situasi ini, seruan untuk kembali ke jalur diplomasi semakin nyaring terdengar.
Meski tekanan terhadap Iran soal program nuklir terus menguat, dunia internasional menyadari bahwa konflik terbuka hanya akan membawa penderitaan lebih besar dan memperburuk stabilitas global.
Banyak pihak kini mendorong dihidupkannya kembali perjanjian nuklir Iran (JCPOA), meski upaya diplomasi tidak akan mudah di tengah situasi yang semakin panas.
Serangan pada 13 Juni 2025 menandai titik kritis baru dalam dinamika geopolitik Timur Tengah. Dengan korban jiwa yang terus bertambah dan ancaman konflik terbuka, pilihan antara perang dan perdamaian kini berada di tangan para pemimpin dunia.
Seruan untuk menahan diri dan kembali ke meja perundingan menawarkan secercah harapan bahwa krisis ini dapat diakhiri sebelum meluas lebih jauh.
0Komentar