![]() |
Krisis beras melanda Jepang, warga antre beras murah. Indonesia punya surplus beras, tapi fokus ke bantuan Palestina. Akankah ekspor terjadi? (Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/rwa) |
Jepang, negara yang dikenal dengan budaya makannya yang kaya akan beras, kini tengah menghadapi krisis beras. Harga beras melonjak, dan warga Negeri Sakura rela antre sejak pagi demi mendapatkan beras murah yang dijual dengan jumlah terbatas. Di tengah situasi ini, banyak yang bertanya: akankah Indonesia, yang sedang menikmati surplus produksi beras, mengambil peluang untuk mengekspor beras ke Jepang?
warga Jepang berbondong-bondong mendatangi toko-toko swalayan untuk membeli beras murah yang dijual dengan harga jauh di bawah pasar. Beras kemasan 5 kilogram, yang biasanya dibanderol sekitar 4.000 yen (sekitar Rp 480.000), kini dijual seharga 2.000 yen (sekitar Rp 240.000).
Namun, stok sangat terbatas—hanya 65 kantong per hari di beberapa toko—dan pembelian dibatasi satu kantong per orang dengan sistem kupon yang dibagikan setiap pukul 08.00 pagi. Akibatnya, banyak warga pulang dengan tangan kosong.
“Kami datang lebih awal karena harga ini sulit ditolak,” ujar seorang wanita berusia 60-an, seperti dikutip dari laporan media lokal.
Meski ada kekhawatiran bahwa beras murah ini berasal dari stok lama atau bahkan pakan hewan, warga tetap memilih membeli.
“Kalau rasanya kurang enak, kami bisa mencampurnya dengan bahan lain atau memasaknya jadi hidangan berbeda. Selalu ada cara,” tambahnya.
Antrean panjang juga terlihat di toko-toko seperti Iris Ohyama, di mana beras murah habis terjual dalam waktu kurang dari satu jam.
Untuk mengatasi krisis, pemerintah Jepang telah melepas 200.000 ton stok darurat beras dan mempertimbangkan impor darurat dengan kuota bebas tarif 100.000 ton per tahun sesuai perjanjian WTO. Namun, hingga kini, belum ada konfirmasi resmi mengenai negara pemasok, termasuk Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia tengah menikmati capaian luar biasa dalam produksi beras. Pada musim tanam 2024-2025, produksi beras nasional diproyeksikan mencapai 34,6 juta ton, naik signifikan dari perkiraan awal 30 juta ton.
Stok cadangan beras pemerintah (CBP) juga mencatat rekor baru, yakni 3,7 juta ton per Mei 2025. Capaian ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu produsen beras terbesar di Asia Tenggara.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan bahwa Indonesia berpotensi menghentikan impor beras hingga 2026, sebuah langkah besar mengingat Indonesia pernah menjadi importir beras terbesar dunia pada 2023 dengan 4,65 juta ton.
Surplus ini membuka peluang ekspor, seperti yang digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang pada April 2025 mengizinkan ekspor beras ke negara-negara tetangga dan yang membutuhkan dengan semangat kemanusiaan.
Meski memiliki surplus, pemerintah Indonesia tampaknya belum memprioritaskan ekspor ke Jepang. Dalam pernyataan pada 12 Juni 2025 di Jakarta, Menteri Amran menegaskan bahwa fokus utama saat ini adalah menyelesaikan pengiriman bantuan pangan beras sebanyak 10.000 ton ke Palestina.
“Kita selesaikan dulu ekspor bantuan pangan ke Palestina,” ujarnya.
Selain itu, Indonesia juga tengah menjalankan ekspor beras ke Malaysia melalui mekanisme bisnis-ke-bisnis (B2B), bukan antar pemerintah.
Pada awal Juni 2025, Amran mengumumkan ekspor 2.000 ton beras per bulan ke Malaysia, terutama dari Kalimantan Barat, dengan kualitas menengah hingga premium.
Ekspor ini dilakukan oleh pelaku usaha swasta, bukan Badan Urusan Logistik (Bulog), dan tidak menggunakan stok CBP. “Tergantung kesepakatan pengusaha Malaysia dan Indonesia,” kata Amran, menegaskan fleksibilitas volume ekspor.
Terkait kemungkinan penggunaan stok CBP untuk ekspor, Amran masih enggan memastikan. “Nanti kita lihat,” ujarnya singkat, menunjukkan sikap hati-hati dalam mengelola cadangan pangan nasional.
Kebijakan ini sejalan dengan pernyataan Amran sebelumnya, yang menekankan pentingnya memperkuat stok domestik sebelum memperluas ekspor. Hingga pertengahan Juni 2025, tidak ada pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia yang mengindikasikan rencana ekspor beras ke Jepang.
Meski Jepang membutuhkan pasokan tambahan dan Indonesia memiliki surplus, hubungan perdagangan beras antara kedua negara selama ini relatif kecil.
Data dari Trading Economics menunjukkan bahwa ekspor beras Indonesia ke Jepang pada 2022 hanya bernilai US$24.300, jauh di bawah potensi yang bisa dicapai.
Ada beberapa faktor yang mungkin memengaruhi keputusan ini. Pertama, fokus pemerintah pada kebutuhan domestik dan bantuan kemanusiaan, seperti ke Palestina, menunjukkan prioritas yang lebih strategis.
Kedua, Jepang memiliki standar kualitas beras yang ketat, yang mungkin memerlukan penyesuaian dari sisi produksi Indonesia. Ketiga, kuota impor bebas tarif Jepang yang terbatas (100.000 ton per tahun) juga menjadi pertimbangan, mengingat Jepang telah mulai mengimpor beras dari Korea Selatan untuk pertama kalinya dalam 25 tahun.
Namun, peluang ekspor ke Jepang tetap terbuka di masa depan, terutama jika ada permintaan resmi atau kerja sama diplomatik yang lebih intens.
Indonesia dan Jepang baru-baru ini menandatangani nota kesepahaman senilai US$200,8 juta untuk meningkatkan ekspor, meski fokusnya lebih pada produk umum dan bukan beras secara spesifik.
Dengan surplus produksi dan pengelolaan stok yang baik, Indonesia memiliki posisi tawar yang kuat untuk memasuki pasar Jepang jika situasi memungkinkan.
Krisis beras di Jepang menjadi pengingat akan pentingnya ketahanan pangan global. Bagi Indonesia, surplus beras adalah peluang untuk memperkuat posisi sebagai eksportir, sekaligus tantangan untuk menyeimbangkan kebutuhan domestik dan pasar internasional.
Pemerintah perlu memastikan bahwa ekspor tidak mengganggu stabilitas harga beras dalam negeri, yang sempat menjadi isu pada 2023. Di sisi lain, kerja sama dengan Jepang dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan nilai ekspor pertanian Indonesia.
Dengan pengelolaan yang tepat, Indonesia tidak hanya bisa membantu mengatasi krisis di Jepang, tetapi juga memperluas pasar beras ke negara-negara lain, sejalan dengan visi swasembada pangan yang digaungkan Presiden Prabowo.
Saat ini, Indonesia belum memiliki rencana konkret untuk mengekspor beras ke Jepang di tengah krisis beras yang melanda negara tersebut. Pemerintah lebih memprioritaskan pengiriman bantuan ke Palestina dan ekspor terbatas ke Malaysia melalui skema B2B, sambil memastikan stok dalam negeri tetap aman.
Meskipun demikian, dengan produksi beras yang melimpah dan stok cadangan yang kuat, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi penyelamat krisis beras global, termasuk di Jepang, jika ada permintaan resmi di masa depan. Untuk saat ini, dunia hanya bisa menanti langkah strategis selanjutnya.
0Komentar