Pemerintah Indonesia terus memperkuat infrastruktur konektivitas nasional melalui strategi satelit yang semakin komprehensif. Upaya ini ditujukan untuk menjangkau wilayah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar) serta mempercepat transformasi digital.
Langkah konkret dilakukan lewat pengoperasian satelit geostasioner SATRIA-1, pengembangan SATRIA-2 dengan kapasitas dua kali lipat, serta integrasi layanan satelit orbit rendah (LEO) seperti Starlink.
Tak hanya itu, rencana peluncuran 19 satelit baru pada 2025 dan penyusunan roadmap luar angkasa hingga 2045 menandai komitmen jangka panjang pemerintah dalam membangun kemandirian dan kapasitas teknologi ruang angkasa nasional.
Diluncurkan pada Juni 2023, SATRIA-1 merupakan satelit komunikasi geostasioner (GEO) yang kini mendukung layanan internet di lebih dari 150 ribu titik publik, seperti sekolah, puskesmas, kantor desa, dan fasilitas pertahanan.
Satelit ini memiliki kapasitas 150 Gbps dan dinilai cukup untuk menjawab kebutuhan saat ini. Proyek ini dikerjakan melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) senilai Rp21 triliun.
Namun, seiring meningkatnya kebutuhan internet dan proses digitalisasi di berbagai sektor, pemerintah menyadari bahwa kapasitas SATRIA-1 tidak akan cukup untuk jangka panjang. Oleh karena itu, pengembangan satelit kembar SATRIA-2 mulai digagas sebagai solusi berkelanjutan.
SATRIA-2 dirancang sebagai dua satelit kembar—SATRIA-2A dan SATRIA-2B—dengan kapasitas total 300 Gbps, dua kali lipat dari SATRIA-1. Proyek ini telah masuk dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri 2024 (Green Book), yang berarti pembiayaannya akan menggunakan pinjaman luar negeri, bukan dari APBN.
Studi kelayakan dan teknis SATRIA-2 akan berlanjut hingga 2025, sementara konstruksi fisik direncanakan dimulai pada Oktober 2024. Pemerintah menargetkan proses pengadaan dimulai paling lambat tahun 2025.
Langkah ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mengembangkan infrastruktur digital berbasis satelit, sekaligus upaya strategis mengatasi keterbatasan anggaran negara.
Selain mengembangkan satelit sendiri, pemerintah juga membuka pintu bagi pemain global seperti Starlink dari SpaceX. Sejak Mei 2024, Starlink resmi beroperasi di Indonesia, menjadi negara ke-99 yang mendapatkan layanan ini. Fokus awalnya adalah mendukung sektor kesehatan dan pendidikan di wilayah pedesaan dan terpencil.
Starlink menggunakan satelit LEO yang mengorbit pada ketinggian 500–2.000 km, jauh lebih rendah dibandingkan satelit GEO seperti SATRIA yang berada di ketinggian 36.000 km.
Karena orbitnya rendah, Starlink menawarkan latensi sangat rendah (sekitar 20–40 ms), menjadikannya cocok untuk daerah terpencil yang membutuhkan akses cepat dan stabil.
Saat ini, Starlink sudah digunakan di sejumlah puskesmas, dan dalam waktu dekat akan diperluas ke sektor pendidikan dan layanan publik lainnya. Selain Starlink, Amazon juga tengah menjajaki izin untuk menghadirkan Project Kuiper ke Indonesia, yang berarti persaingan layanan LEO akan semakin dinamis di masa depan.
Untuk memperkuat posisi Indonesia dalam teknologi ruang angkasa, pemerintah merancang peluncuran 19 satelit baru ke orbit rendah pada tahun 2025. Satelit-satelit ini akan digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari komunikasi, pemantauan sumber daya laut, pengawasan perikanan, hingga observasi lingkungan.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga tengah mengembangkan satelit beresolusi sangat tinggi (50 cm) yang dijadwalkan mengorbit pada 2025. Ini akan memperluas kemampuan Indonesia dalam pengumpulan data observasi dan pengelolaan lingkungan secara mandiri.
Sebagai arah jangka panjang, pemerintah menyusun roadmap luar angkasa nasional hingga 2045. Roadmap ini meliputi pengembangan teknologi satelit lokal, peningkatan kemandirian teknologi ruang angkasa, dan integrasi dengan sektor digital nasional.
Di sisi lain, roadmap digital 2025–2029 juga dirancang untuk mendukung konektivitas lewat penurunan biaya spektrum 5G dan ekspansi fiber optik, melengkapi infrastruktur satelit.
Indonesia dengan karakter geografis kepulauan membutuhkan pendekatan multi-teknologi. Pemerintah menegaskan bahwa solusi konektivitas tidak bisa hanya mengandalkan satu jenis teknologi. Kombinasi berikut menjadi fokus utama:
Satelit GEO: Seperti SATRIA-1 dan SATRIA-2, ideal untuk cakupan nasional dan kapasitas besar.
Satelit LEO: Seperti Starlink, untuk latensi rendah dan koneksi cepat di wilayah terpencil.
Fiber Optik dan 5G: Untuk wilayah urban dan kawasan dengan infrastruktur dasar yang memadai.
Melalui pendekatan ini, target besar pemerintah seperti menghubungkan 47.900 kantor desa dan kecamatan lewat internet akan lebih mudah dicapai. Selain itu, efisiensi dan pemerataan akses digital diharapkan meningkat secara signifikan.
Perbandingan GEO vs LEO
Aspek | Satelit GEO (Satria-1, Satria-2) | Satelit LEO (Starlink) |
---|---|---|
Orbit | 36.000 km di atas permukaan bumi | 500–2.000 km di atas permukaan bumi |
Latensi | Tinggi (500–600 ms) | Rendah (20–40 ms) |
Kapasitas | Satria-1: 150 Gbps, Satria-2: 300 Gbps (rencana) | Tinggi, tergantung jumlah satelit (ribuan) |
Cakupan | Luas, cocok untuk area besar | Terefokus, cocok untuk daerah terpencil |
Status di Indonesia | Satria-1 beroperasi, Satria-2 dalam pengembangan | Beroperasi sejak Mei 2024 |
Meski ambisi pemerintah besar, tantangan tetap ada. Di antaranya adalah keterbatasan anggaran, koordinasi antar-lembaga, serta ketergantungan pada penyedia satelit asing.
Namun, dengan pendekatan strategis seperti pendanaan lewat pinjaman luar negeri dan kemitraan internasional (misalnya dengan SpaceX), hambatan tersebut mulai teratasi.
Keterpaduan antara jaringan darat dan satelit menjadi kunci keberhasilan. Tanpa integrasi menyeluruh, upaya memperluas konektivitas bisa terhambat oleh kesenjangan infrastruktur, terutama di wilayah terpencil.
Strategi konektivitas satelit Indonesia saat ini memasuki babak baru. SATRIA-1 menjadi fondasi, SATRIA-2 sedang dipersiapkan untuk masa depan, dan Starlink sudah mulai memperkuat koneksi di wilayah 3T.
Rencana peluncuran 19 satelit baru serta penyusunan roadmap luar angkasa hingga 2045 menunjukkan komitmen pemerintah dalam membangun kedaulatan digital. Melalui pendekatan teknologi yang terintegrasi, Indonesia bergerak menuju masa depan konektivitas yang merata dan inklusif.
0Komentar