Wacana legalisasi kasino kembali mencuat di Indonesia. Pakar menyebut potensi pendapatan dari kasino legal bisa mencapai ratusan triliun rupiah dan menjadi solusi untuk melunasi utang negara. (Foto: AFP)

Wacana legalisasi kasino kembali mencuat di Indonesia. Pemicu utamanya adalah pernyataan Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita, dalam rapat bersama Kementerian Keuangan pada Mei 2025. Galih menyebutkan potensi kasino sebagai sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dengan mencontohkan Uni Emirat Arab (UEA) yang mulai membuka diri terhadap industri ini meski mayoritas penduduknya Muslim. 

Ia menekankan bahwa idenya hanyalah usulan kreatif, namun pernyataan itu langsung menyulut perdebatan publik.

Diskusi pun makin luas, termasuk dalam forum bertajuk Legalisasi Kasino di Indonesia: Antara Kepastian Hukum, Tantangan Sosial, dan Peluang Ekonomi yang diselenggarakan Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) pada Sabtu, 7 Juni 2025.

Ekonom Benny Batara Hutabarat, yang akrab disapa Bennix, termasuk yang mendukung wacana ini. Menurutnya, legalisasi kasino bisa menjadi solusi untuk menambah pendapatan negara secara signifikan—bahkan, katanya, bisa melunasi utang negara.

“Kalau kita legalkan judi kasino, ini beda dengan judi online. Judi online itu marak di kalangan bawah, siapa pun bisa akses lewat HP. Tapi kasino itu ada fisiknya, butuh modal dan infrastruktur,” ujar Bennix.

Ia mengutip data PPATK yang menyebut perputaran uang judi online tahun 2025 bisa mencapai Rp1.200 triliun—uang yang tak masuk kas negara karena statusnya ilegal. Selain itu, Indonesia kehilangan sekitar Rp600 triliun per tahun karena warganya berjudi di luar negeri, seperti di Singapura dan Macau.

“Kalau legal, kita bisa tarik paling nggak Rp200 triliun per tahun. Itu sudah bisa bantu nutup bunga utang negara yang sekarang sekitar Rp550 triliun,” tambah Bennix.

Sebagai contoh, Singapura berhasil meraup Rp109 triliun dari industri kasino pada 2024 dan menargetkan Rp150 triliun di 2025, lewat resor terpadu seperti Marina Bay Sands dan Resorts World Sentosa. 

Konsep ini menggabungkan kasino dengan hotel, hiburan, dan pariwisata, dan menurut Bennix, bisa ditiru Indonesia untuk mendongkrak sektor penerbangan, transportasi, hingga kuliner.

Namun, legalisasi kasino bukan perkara mudah di negara seperti Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengingatkan bahwa resistensi dari masyarakat bisa sangat kuat.

“Kalau kasino dibuka, uang memang bisa ‘stay’ di Indonesia. Tapi risiko demo besar juga ada. Ulama, jemaah, pasti menolak,” ujarnya. Ia menyarankan agar kasino, kalau pun dilegalkan, dibatasi di wilayah khusus seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan diatur dengan regulasi yang ketat.

Di sisi lain, penolakan keras datang dari Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKB, Hasbiallah Ilyas. Menurutnya, dampak negatif dari legalisasi jauh lebih besar ketimbang manfaatnya.

“Mau dapat duit? Oke. Tapi kerusakan sosial, moral, dan budaya kita itu lebih besar. Kita belum siap,” tegas Hasbi. 

Ia menyoroti pengalaman Singapura yang bahkan melarang warganya sendiri berjudi dengan mengenakan biaya masuk kasino yang tinggi. Ia pesimistis pendekatan semacam itu bisa berhasil di Indonesia.

Indonesia sebenarnya punya sejarah soal perjudian legal. Pada era Gubernur Ali Sadikin (1966–1977), hasil dari kasino dan lotre digunakan untuk membangun infrastruktur Jakarta. Tapi kemudian praktik itu dihentikan karena tekanan moral dan agama.

Secara hukum, legalisasi kasino berbenturan dengan UU No. 7 Tahun 1974 tentang Perjudian dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan perjudian bertentangan dengan moral, agama, dan ketertiban umum sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.

Untuk mengakomodasi dua sisi yang bertentangan, Hikmahanto menawarkan solusi kompromi: kasino boleh ada, tapi dibatasi di lokasi tertentu dan dikenakan pajak tinggi. Tujuannya adalah menangkap manfaat ekonominya tanpa merusak nilai-nilai sosial yang ada.

“Lokalisasi penting. Jangan sampai menyebar. Tapi yang penting juga, negara dapat pajak. Jadi ada manfaat yang bisa dirasakan,” katanya.

Kasino memang bisa jadi tambang emas bagi pendapatan negara. Potensinya jelas besar, apalagi jika dikelola seperti di Singapura. Tapi di sisi lain, tantangan sosial, budaya, dan moral di Indonesia juga sangat nyata. Hingga 8 Juni 2025, wacana ini belum berbuah kebijakan resmi. Masih sebatas diskusi.

Langkah selanjutnya seharusnya adalah studi komprehensif dan sosialisasi publik. Pemerintah perlu hati-hati menakar untung dan buntung sebelum mengambil keputusan besar terkait legalisasi kasino.