![]() |
Jalan Braga di Bandung tetap ramai pada Minggu malam (1 Juni), meski aturan jam malam pelajar telah diberlakukan. (BBC News/Yuli Saputra) |
Mulai 1 Juni 2025, Pemerintah Provinsi Jawa Barat resmi menerapkan kebijakan jam malam untuk pelajar. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Nomor 51/PA.03/Disdik yang melarang pelajar berkeliaran di luar rumah antara pukul 21.00 hingga 04.00 WIB, kecuali untuk urusan pendidikan, kegiatan keagamaan, atau kondisi mendesak yang disertai pendampingan orang tua.
Gubernur Dedi Mulyadi mengeluarkan kebijakan ini dengan alasan untuk melindungi generasi muda. Namun, kebijakan ini langsung memicu perdebatan. Ada yang mendukung, ada juga yang merasa kebijakan ini terlalu membatasi ruang gerak pelajar.
Pemerintah mengambil langkah ini sebagai respons atas meningkatnya kasus kenakalan remaja. Salah satu yang menjadi sorotan adalah insiden tawuran antar siswa sekolah dasar di Depok pada 10 Mei 2025.
Dalam kuliah umum di Universitas Indonesia pada 27 Mei lalu, Gubernur Dedi menjelaskan bahwa aturan ini bertujuan agar anak-anak tidak terlibat kegiatan berisiko di malam hari, seperti tawuran, geng motor, atau kejahatan lainnya.
Ia juga menyebut aturan ini sejalan dengan program "Generasi Panca Waluya Jawa Barat Istimewa", yang fokus pada pembangunan karakter pelajar.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Dedi Mulyadi menerapkan kebijakan serupa. Saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta, ia pernah mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 70 Tahun 2015 yang membatasi aktivitas pacaran setelah jam 9 malam. Pengalaman inilah yang jadi acuan untuk kebijakan di tingkat provinsi.
Apa Saja Isi Aturannya?
Surat edaran ini mengatur agar semua pelajar dari tingkat SD hingga SMA tidak berada di luar rumah setelah pukul 21.00. Tapi ada beberapa pengecualian, misalnya jika:
Mengikuti kegiatan sekolah atau pendidikan resmi.
Menghadiri kegiatan keagamaan atau sosial dengan izin orang tua.
Keluar bersama orang tua atau wali.
Dalam kondisi darurat seperti bencana atau hal penting lainnya.
Untuk pengawasan, pemerintah melibatkan berbagai pihak seperti kepala daerah, TNI, Polri, hingga Satpol PP. Gubernur bahkan sudah menandatangani kerja sama dengan aparat keamanan untuk mendukung penegakan aturan ini sampai ke desa-desa.
Meski begitu, sampai 4 Juni 2025, belum ada sanksi resmi bagi pelanggar. Pendekatannya masih persuasif, seperti dalam razia yang digelar di Subang dan Depok, yang lebih mengedepankan imbauan ketimbang hukuman.
Tanggapan Warga: Pro dan Kontra
Respon masyarakat terhadap kebijakan ini cukup beragam. Sejumlah orang tua menyambut positif. Ali Novel (55), warga Purwakarta, menganggap aturan ini penting agar anak-anak tak terjerumus ke pergaulan buruk. Ida Alaida (47), ibu rumah tangga, juga berharap aturan ini bisa mendorong anak-anak lebih banyak di rumah saat malam.
Namun, pelajar punya pandangan berbeda. Dafa (16), yang terkena razia saat nongkrong di kawasan kuliner Situ Buleud, merasa malam hari adalah waktu penting buat bersosialisasi. Ia merasa aturan ini terlalu membatasi.
Andra (16) mengakui tujuannya bagus, tapi menyarankan jam malam dimulai pukul 22.00 agar masih ada waktu untuk kegiatan positif seperti olahraga malam. Sagrath, pelajar dari Bandung, malah menilai kebijakan ini tidak efektif karena masalah remaja juga sering dipicu oleh lingkungan orang dewasa.
Dari kalangan guru, Ryan, pengajar di Bekasi, mendukung karena merasa perlu ada langkah konkret untuk mencegah tawuran. Tapi ia menegaskan bahwa pendidikan dari keluarga tetap yang utama.
Sementara itu, Iman Zanatul Haeri dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai kebijakan ini terkesan terburu-buru dan tidak dilandasi riset yang matang. Ia khawatir pelajar justru jadi distigmatisasi seolah mereka sumber masalah.
Apakah Aturan Ini Berlaku Secara Hukum?
Perlu dicatat, surat edaran bukan peraturan yang punya kekuatan hukum mengikat seperti undang-undang atau peraturan daerah. Menurut Indra Mulyadi dari Kongres Advokat Indonesia Jawa Barat, surat edaran hanya bersifat teknis dan sifatnya imbauan, bukan keharusan.
Jadi, masyarakat secara hukum tidak wajib patuh, kecuali jika ada undang-undang yang memerintahkannya—yang belum terjadi dalam kasus ini.
Di lapangan, implementasi pun masih banyak tantangan. Belum ada sanksi yang jelas, dan beberapa petugas seperti Satpol PP di Bandung mengaku belum mendapat instruksi yang konkret. Ini menunjukkan bahwa koordinasi dan kesiapan di lapangan masih minim.
Jawa Barat bukan satu-satunya yang mencoba menerapkan pembatasan malam bagi pelajar. Di Pati, Jawa Tengah, ada aturan jam belajar dari pukul 19.00 hingga 21.00 WIB yang diatur lewat Surat Edaran Bupati Sudewo.
Tapi menurut warga, pelaksanaannya tidak terlalu terasa dan cenderung diabaikan setelah beberapa waktu. Pelajar seperti Aprilia dan Galang menyebut bahwa aturan ini hanya aktif di awal, lalu perlahan menghilang gaungnya.
Apa yang Bisa Ditingkatkan ke Depan?
Niat awal dari kebijakan ini sebenarnya baik—melindungi generasi muda dari bahaya malam. Tapi pelaksanaannya perlu evaluasi lebih lanjut. Menurut data dari P2G, Indeks Pembangunan Kebudayaan Jawa Barat masih rendah, hanya 51,5%.
Rata-rata lama sekolah hanya 8,83 tahun, dan angka putus sekolah masih tinggi. Ini menandakan perlunya pendekatan yang lebih menyeluruh, bukan sekadar pembatasan jam keluar rumah.
Safitri Ristagitania Ahtar, orang tua di Bandung, menyarankan agar pemerintah melibatkan komunitas lokal dan menguatkan peran keluarga.
Ia juga mengusulkan agar anak-anak diberi ruang ekspresi seperti fasilitas olahraga atau tempat kegiatan kreatif, sehingga energi mereka bisa tersalurkan dengan positif.
Kebijakan jam malam pelajar di Jawa Barat adalah langkah yang berani, tapi bukan tanpa tantangan. Agar benar-benar efektif, aturan ini perlu dilengkapi dengan penegakan yang konsisten, aturan yang jelas, serta pendekatan yang lebih humanis dan menyeluruh.
Jangan sampai aturan ini hanya menjadi formalitas tanpa menyentuh akar persoalan. Pemerintah perlu mendengarkan semua pihak—dari pelajar, orang tua, guru, hingga komunitas—untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi masa depan anak-anak Jawa Barat.
0Komentar