![]() |
Emisi karbon sektor energi dunia mencapai rekor 37,8 gigaton CO2 pada 2024, meskipun kapasitas energi terbarukan naik 15,1% menjadi 4.448 GW. (Ilustrasi: Apluswire/Heninda Rochman Amilia) |
Emisi karbon sektor energi dunia kembali menorehkan rekor baru pada 2024, mencapai 37,8 gigaton CO2 — tertinggi sepanjang sejarah — sementara total emisi gas rumah kaca menembus 40 gigaton CO2e untuk pertama kalinya.
Ironisnya, capaian ini justru terjadi di saat energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin tumbuh pesat, mencatat lonjakan kapasitas global hingga 15,1% menjadi 4.448 gigawatt.
Fenomena yang dijuluki Ironi Energi ini menunjukkan kontradiksi besar: energi bersih berkembang, tetapi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan permintaan energi global yang melonjak tetap menjadi penyebab krisis.
Dampaknya tidak main-main: seluruh umat manusia, ekosistem planet, dan masa depan iklim global berada di ujung tanduk.
Mengapa Ironi Energi Terjadi?
Fenomena ini bukan sekadar anomali statistik. Permintaan energi dunia naik 2% sepanjang 2024, bahkan 5% di atas level pra-pandemi COVID-19.
Pertumbuhan ekonomi, percepatan elektrifikasi transportasi, serta kebutuhan masif dari sektor baru seperti kecerdasan buatan (AI) dan pusat data yang menyumbang 0,7% kenaikan konsumsi energi (dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya) menjadi pemicunya.
Di negara-negara beriklim panas seperti India dan China, suhu ekstrem mendorong lonjakan penggunaan pendingin ruangan, sedangkan pemulihan sektor penerbangan pasca-COVID juga menambah beban emisi global.
Sementara itu, bahan bakar fosil tetap mendominasi 81,5% konsumsi energi primer dunia, turun hanya 0,4% dibanding tahun lalu.
Gas alam mencatat kenaikan 2,5%, disusul batu bara naik sekitar 0,9–1,2%, yang masih menjadi tulang punggung pembangkit listrik terbesar di dunia.
Minyak, meski pertumbuhannya di bawah 1%, tetap menyumbang hampir 30% permintaan energi. "Kita masih berada dalam mode penambahan energi, bukan transisi," jelas Jane Ellis, analis senior di IEA. "Energi terbarukan hanya menambah pasokan, tetapi tidak menggantikan bahan bakar fosil."
Ironi lain muncul dari apa yang disebut Jevons Paradox atau efek pantulan: semakin efisien teknologi, semakin tinggi penggunaan energinya secara keseluruhan.
Contohnya, kemajuan efisiensi komputasi malah mendorong ledakan pusat data, AI, dan blockchain, yang menjadi motor kenaikan konsumsi listrik global.
“Efisiensi seharusnya menurunkan konsumsi, tetapi justru memicu permintaan lebih besar,” kata Dr. Michael Taylor, peneliti energi dari University of Oxford.
Faktor lain yang memperparah situasi adalah terbatasnya kapasitas jaringan listrik untuk mengangkut listrik dari sumber terbarukan jarak jauh, masalah rantai pasok mineral kritis, serta konflik geopolitik seperti perang di Ukraina dan ketegangan di Timur Tengah.
Kebijakan perizinan energi bersih yang lambat dan regulasi yang tidak konsisten turut menjadi batu sandungan.
Dampak Global dan Ancaman Keadilan Iklim
Konsekuensi Ironi Energi terlihat nyata. Konsentrasi CO2 atmosfer kini menyentuh 422,7 ppm pada 2024 — kenaikan tahunan tertinggi dalam sejarah, naik 3,75 ppm dari 2023.
Angka ini sudah 50% di atas level pra-industri, dan mendorong suhu global mendekati peningkatan 2°F (1,1°C) sejak 1850–1900.
COP28 mencatat suhu global sempat melebihi 1,5°C, sinyal keras bahwa ambang batas krisis iklim semakin dekat.
Kenaikan permukaan laut telah mencapai 8 inci sejak 1880, dan diproyeksikan naik hingga 1–6,6 kaki pada akhir abad ini, mengancam jutaan penduduk pesisir.
Lautan pun 30% lebih asam dibanding era Revolusi Industri, merusak terumbu karang dan rantai makanan laut.
Badai ekstrem, desertifikasi, serta kerusakan ekosistem merusak penghidupan jutaan orang. Sektor pertanian turut menyumbang 12% emisi global, termasuk metana dan nitrat oksida yang memperburuk ozon permukaan, merugikan kesehatan manusia dan tanaman.
Ironi Energi juga menambah ketidakadilan iklim. Negara-negara berkembang di Karibia, Amerika Tengah, dan Kepulauan Pasifik hanya sedikit berkontribusi pada pertumbuhan energi terbarukan, tetapi justru menerima dampak terparah dari krisis iklim.
“Ketidaksetaraan akses teknologi energi bersih adalah isu keadilan global,” tegas Dr. Aisha Khan, pakar keberlanjutan dari Pakistan. “Negara-negara miskin menanggung beban yang bukan mereka ciptakan.”
Hampir 76% emisi global berasal dari sektor energi, termasuk pembangkit listrik dan panas (33%), transportasi (16%), manufaktur (13%), serta sektor residensial dan komersial (6%).
Industri baja, semen, dan fesyen menyumbang hingga 23% gabungan, memperlihatkan bahwa transformasi lintas sektor mutlak diperlukan.
Transisi Energi yang Sesungguhnya
Apakah jalan keluar masih ada? Tentu. Kebijakan dan regulasi yang kuat menjadi fondasi. Denmark, misalnya, berhasil memangkas waktu perizinan proyek angin lepas pantai sehingga adopsinya lebih cepat.
Inggris dengan pedoman nasional yang stabil mampu menarik investor, sementara skema tarif umpan di Jerman terbukti mendorong energi bersih.
Penetapan harga karbon, baik melalui pasar karbon (mengurangi 12% emisi) maupun pajak karbon (hampir 9%), juga efektif — meski sayangnya baru mencakup 24% emisi global, sehingga perlu diperluas.
Teknologi adalah kunci berikutnya. Inovasi fotovoltaik, desain turbin angin, hingga sel surya perovskit meningkatkan efisiensi pembangkit terbarukan.
Penyimpanan energi, jaringan pintar, serta penggunaan hidrogen hijau dan kendaraan listrik juga penting untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan gas.
Pendekatan berbasis alam, seperti agrivoltaik atau program penghijauan gurun dengan tenaga surya di Gobi, ikut membuka peluang sinergi sosial-lingkungan.
Dari sisi ekonomi, subsidi dan pembiayaan inovatif seperti Kontrak Kinerja Energi bisa menurunkan biaya awal pembangunan infrastruktur hijau.
Perubahan perilaku masyarakat, termasuk beralih ke transportasi umum, kendaraan listrik, panel surya rumah, serta pola makan rendah emisi, diperkirakan mampu memangkas emisi hingga 70% pada 2050.
“Kita tidak cukup hanya menambah energi bersih. Kita harus menghapus bahan bakar fosil sambil mengelola permintaan,” tegas Dr. Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA. “Ini soal keberanian politik dan transformasi sosial.”
Masa Depan: Berani atau Terhenti?
Ironi Energi di tahun 2024 seharusnya menjadi pengingat keras. Pertumbuhan kapasitas energi terbarukan 15,1% masih tertinggal dari target tahunan 16,6% demi mencapai 11 terawatt pada 2030.
Sementara permintaan energi terus meroket, transisi tidak boleh hanya sekadar menambah pembangkit baru, tetapi juga harus memensiunkan sumber energi kotor.
Butuh regulasi berani, inovasi teknologi, pembiayaan besar, dan perubahan perilaku sosial untuk memastikan masa depan energi yang aman, adil, dan rendah karbon.
Statistical Review of World Energy 2024 menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh atas cara kita menggunakan energi dan mempercepat tindakan iklim secara global.
Jika tidak, Ironi Energi hanya akan memperlebar jurang menuju krisis iklim yang tak terkendali — dan menunda masa depan berkelanjutan yang semestinya bisa kita raih bersama.
0Komentar