Donald Trump menyatakan perundingan damai antara Ukraina dan Rusia tak akan membuahkan hasil tanpa pertemuan langsung dengan Vladimir Putin. (Forbes)

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menegaskan komitmennya dalam upaya mendamaikan konflik berkepanjangan antara Ukraina dan Rusia. Ia menyatakan bahwa kemajuan berarti dalam proses perdamaian tidak akan tercapai tanpa kehadiran langsung dirinya dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam satu forum.

Pernyataan itu disampaikan Trump saat berbicara kepada wartawan dalam penerbangan dari Qatar menuju Uni Emirat Arab menggunakan pesawat kepresidenan AS, Air Force One. 

Menurut laporan Reuters pada Jumat (16/5/2025), Trump mengatakan, "Saya tidak percaya akan ada kemajuan, suka atau tidak, sampai saya dan dia (Putin) bertemu langsung."

Trump menekankan pentingnya penyelesaian konflik ini, dengan alasan kemanusiaan. "Kita harus menyelesaikan ini. Terlalu banyak nyawa yang sudah hilang," ujarnya dengan nada serius.

Di saat yang hampir bersamaan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky tiba di Ankara, Turki, pada Kamis (15/5), guna menghadiri perundingan yang telah lama dinantikan. 

Dalam langkah diplomatik yang tegas, Zelensky sebelumnya menantang Putin untuk hadir langsung dalam pembicaraan perdamaian, sebagai bukti keseriusan Moskow terhadap jalan damai.

Ironisnya, meskipun gagasan perundingan langsung ini datang dari pihak Rusia, Putin justru tidak muncul. Tantangan terbuka dari Zelensky untuk hadir secara fisik tidak mendapat tanggapan dari Kremlin.

Pertemuan di Turki ini tergolong bersejarah. Ini adalah kali pertama sejak lebih dari tiga tahun perang berlangsung bahwa perundingan langsung digelar secara formal antara dua pihak yang bertikai.

Namun harapan akan momen bersejarah ini sedikit meredup. Rusia hanya mengirimkan perwakilan tingkat rendah yang dipimpin oleh Vladimir Medinsky, penasihat dekat Putin. 

Medinsky dikenal sebagai figur kontroversial yang pernah mempertanyakan eksistensi Ukraina sebagai negara berdaulat. Ia juga terlibat dalam perundingan yang gagal pada tahun 2022, ketika perang masih berada di fase awal.

Sementara itu, Ukraina menurunkan delegasi yang lebih solid. Menteri Pertahanan Rustem Umerov memimpin tim Ukraina, yang terdiri dari lebih dari selusin pejabat senior setingkat wakil menteri. Komposisi ini mencerminkan keseriusan Kyiv dalam mencari jalan keluar damai yang realistis dan bermartabat.

Ketika ditanya mengenai sikap Rusia yang hanya mengirim delegasi kelas dua, Trump tampak enggan menanggapi secara rinci. "Saya belum melihat siapa yang mereka kirim," katanya. 

Namun ia menambahkan bahwa ketidakhadiran Putin bukanlah kejutan baginya. "Jelas dia tidak akan datang. Dia pikir saya akan ada di sana. Kalau saya tidak datang, dia juga tidak akan datang," ujar Trump.

Trump selama ini dikenal memiliki hubungan unik dengan Putin. Ia berulang kali menyatakan kekaguman terhadap gaya kepemimpinan Presiden Rusia tersebut, yang membuatnya sering dikritik oleh kalangan politik domestik AS. 

Namun, menurut Trump, pendekatan personal semacam inilah yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik besar seperti perang di Ukraina.

Ia juga menyatakan kesediaannya untuk datang ke Turki dan terlibat langsung dalam perundingan, jika situasinya cukup menjanjikan. "Jika ada perkembangan signifikan, saya akan datang," ujarnya.

Pernyataan Trump ini menunjukkan perbedaan tajam dibandingkan pendekatan yang diambil oleh Presiden AS sebelumnya, Joe Biden. Selama masa jabatannya, Biden menegaskan bahwa keputusan tentang masa depan Ukraina sepenuhnya berada di tangan rakyat dan pemerintah Ukraina sendiri. Ia menolak intervensi langsung dari pihak luar yang bisa merusak kedaulatan negara tersebut.

Pendekatan Trump yang lebih personal dan terpusat pada diplomasi langsung menimbulkan banyak perdebatan. Di satu sisi, ada yang menilai gaya tersebut dapat membuka jalur komunikasi yang selama ini tertutup. 

Namun di sisi lain, pendekatan semacam ini juga dikhawatirkan merusak prinsip-prinsip dasar dalam hubungan internasional, seperti penghormatan terhadap kedaulatan negara dan hak menentukan nasib sendiri.

Masih belum jelas apakah pertemuan di Ankara ini akan menghasilkan terobosan berarti. Namun satu hal yang pasti, dunia masih menaruh harapan bahwa konflik brutal ini bisa segera diakhiri. Lebih dari tiga tahun pertempuran telah menyebabkan kehancuran besar, korban jiwa tak terhitung, dan mengguncang stabilitas global.

Dengan ketidakhadiran Putin dan peran Trump yang masih sebatas retorika, prospek perdamaian tetap berada dalam bayang-bayang ketidakpastian. Namun, sekecil apa pun langkah yang diambil menuju dialog tetap lebih baik daripada stagnasi yang berujung pada lebih banyak penderitaan.