Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning China. (Sumber: fmprc.gov.cn)

Pemerintahan Presiden Donald Trump kembali menjadi sorotan global setelah Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (DHS), yang kini dipimpin oleh Kristi Noem, secara tiba-tiba mencabut sertifikasi Student and Exchange Visitor Program (SEVP) untuk Universitas Harvard. 

Keputusan ini membuat Harvard kehilangan hak untuk menerima mahasiswa asing baru, sementara mahasiswa internasional yang saat ini terdaftar diharuskan mencari universitas lain atau menghadapi risiko kehilangan status hukum mereka di AS.

Langkah drastis ini memicu kecemasan di kalangan ribuan mahasiswa asing, termasuk lebih dari 1.200 pelajar asal Tiongkok yang sedang menempuh pendidikan di Harvard. 

“Saya merasa seperti masa depan saya direnggut secara seketika,” ujar Fangzhou Jiang, mahasiswa di Harvard Kennedy School. Sophie Wu, mahasiswa baru asal Beijing, menambahkan, “Kebijakan ini tidak masuk akal dan sangat politis.”

Tuduhan dan Alasan Pemerintah

Dalam pernyataan resmi, Kristi Noem menuduh Harvard telah “gagal menyerahkan catatan aktivitas mahasiswa asing, termasuk dugaan partisipasi dalam protes dan pelanggaran keamanan.” 

Bahkan, universitas ini dituding memiliki hubungan dengan entitas militer Tiongkok, termasuk pelatihan untuk Xinjiang Production and Construction Corps — sebuah kelompok yang telah dikenai sanksi oleh AS.

Harvard langsung menggugat keputusan ini ke pengadilan federal, dengan tuduhan pelanggaran terhadap kebebasan akademik dan Amendemen Pertama Konstitusi AS. 

“Ini adalah bentuk pembalasan yang ilegal dan merusak komunitas Harvard serta negara kami,” demikian pernyataan universitas tersebut.

Reaksi Internasional dan China

China secara terbuka mengecam tindakan ini. “Pihak China secara konsisten menentang politisasi kerja sama pendidikan. Tindakan AS hanya akan merusak citra dan reputasi internasionalnya,” ujar Mao Ning, juru bicara Kementerian Luar Negeri China. 

Media pemerintah Tiongkok, CCTV, turut mempertanyakan apakah AS masih layak menjadi destinasi utama bagi mahasiswa internasional.

Hong Kong University of Science and Technology (HKUST) menjadi salah satu universitas pertama yang menawarkan solusi konkret. “Kami siap menerima mahasiswa Harvard yang terdampak dengan proses pendaftaran dipercepat,” kata perwakilan HKUST.

Dampak Akademik dan Ekonomi

Langkah pemerintah AS ini berdampak langsung terhadap sekitar 6.800 mahasiswa asing—sekitar 27% dari total mahasiswa Harvard. Secara ekonomi, mahasiswa internasional menyumbang sekitar $591 juta per tahun untuk kampus ini. 

Secara nasional, kontribusi pelajar asing terhadap perekonomian AS diperkirakan mencapai $43,8 miliar. Selain itu, kebijakan ini menambah panjang daftar konflik antara Trump dan universitas elite seperti Harvard. 

Sebelumnya, Trump telah memangkas dana federal sebesar $2,6 miliar dan mengancam mencabut status bebas pajak institusi tersebut, menyebut mereka sebagai “sarang anti-Amerika.”

Konteks Politik dan Geopolitik

Langkah ini bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga bagian dari strategi geopolitik AS. Sejak masa jabatan pertamanya, Trump telah memperketat kontrol terhadap mahasiswa asing, khususnya dari China. 

Ketegangan terkait visa, teknologi, dan spionase telah menyebabkan jumlah mahasiswa Tiongkok di AS menurun drastis, dari 372.000 pada tahun 2019 menjadi sekitar 277.000 pada 2024.

Kebijakan terbaru ini memperdalam jurang antara Washington dan Beijing, yang sebelumnya sudah renggang akibat perang dagang dan isu-isu keamanan nasional. 

Sementara itu, pelajar Tiongkok mulai mengalihkan pandangan mereka ke Inggris, Kanada, dan Australia sebagai alternatif destinasi studi.

Kritik Global dan Ancaman bagi Sains

Dunia akademik global pun tak tinggal diam. Pemerintah Jerman menyebut kebijakan ini sebagai “bunuh diri kebijakan riset,” sementara American Council on Education mengecamnya sebagai “tindakan sempit dan melampaui kewenangan.”

Dengan serangkaian respons dari berbagai pihak, jelas bahwa keputusan ini lebih dari sekadar kebijakan imigrasi—ini adalah pertarungan ideologis dan simbolik antara nasionalisme proteksionis dan keterbukaan akademik global.