![]() |
Laporan terbaru S&P Global mengungkap kapal tanker Indonesia membawa 2 juta barel minyak mentah Rusia. (Dok. SindoNews) |
Indonesia mulai masuk sorotan setelah laporan S&P Global Oil Tracker mencatat adanya kapal tanker berbendera Indonesia yang mengangkut dua juta barel minyak mentah asal Rusia. Meski volume ini relatif kecil dalam konteks ekspor Rusia yang kini mayoritas terserap oleh China dan India, kehadiran Indonesia dalam logistik minyak Rusia menjadi isyarat penting atas dinamika baru kebijakan energi nasional.
Langkah Indonesia bukan tanpa dasar. Setelah melalui uji teknis dan tender terbuka sejak pertengahan 2024, Pertamina melalui anak usahanya PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) mulai merealisasikan impor minyak Rusia, dengan perhatian khusus terhadap kecocokan spesifikasi minyak seperti ESPO Blend dan Sokol dengan konfigurasi kilang domestik.
Diskon harga yang signifikan—harga Urals yang kini turun ke kisaran USD 55,6 per barel—menjadi insentif ekonomi yang kuat. Di tengah kebutuhan menjaga stabilitas energi nasional dan tekanan fiskal akibat subsidi, harga murah ini adalah tawaran yang sulit ditolak.
Namun, terdapat anomali menarik. Indonesia tidak tercatat sebagai negara tujuan akhir dalam laporan ekspor minyak Rusia, menimbulkan pertanyaan mengenai skema pengiriman yang digunakan.
Salah satu kemungkinan adalah praktik transshipment, yakni pemindahan muatan kapal ke kapal (ship-to-ship) di perairan netral seperti sekitar Selat Malaka atau zona ekonomi eksklusif Singapura.
Kawasan ini memang telah lama berfungsi sebagai pusat blending dan rebranding minyak dunia, memungkinkan asal-usul minyak menjadi buram secara administratif.
Dalam konteks ini, tidak mustahil minyak yang dibawa kapal Indonesia sejatinya digunakan untuk kebutuhan negara ketiga, atau sebaliknya, minyak yang tiba di Indonesia telah lebih dahulu diproses untuk menyamarkan asalnya demi menghindari tekanan politik atau sanksi.
Fenomena ini bukan hanya dialami Indonesia. Negara-negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Vietnam juga mengambil pendekatan hati-hati, dengan sebagian besar pasokan tetap berasal dari Timur Tengah atau Afrika.
Indonesia dengan demikian menjadi salah satu negara yang cukup terbuka terhadap opsi pasokan Rusia, meski masih dalam volume terbatas dan melalui pendekatan teknis yang cermat.
Kendati Indonesia bukan pihak yang menerapkan sanksi terhadap Rusia, risiko sekunder tetap ada. Penggunaan jasa keuangan berbasis dolar AS dan perusahaan asuransi internasional yang bermarkas di negara-negara Barat bisa menimbulkan eksposur hukum.
Hal ini diperburuk oleh meningkatnya pengawasan terhadap armada shadow fleet Rusia—tanker-tanker tua berusia lebih dari dua dekade yang sering kali tidak diasuransikan dan rawan kecelakaan laut.
Pemerintah perlu memastikan bahwa kerangka regulasi nasional mampu mengantisipasi aspek hukum ini. Sampai saat ini, belum jelas sejauh mana BPH Migas atau Kementerian ESDM memiliki mekanisme kontrol terhadap asal-usul minyak mentah yang diimpor, khususnya yang berpotensi terkait dengan negara yang sedang dikenai sanksi.
Regulasi yang lebih presisi akan membantu Indonesia tetap berada di jalur netral namun aman secara diplomatik. Dalam jangka panjang, strategi ini harus dibaca dalam konteks ketahanan energi nasional.
Impor minyak diskon mungkin menguntungkan saat ini, tetapi bisa menciptakan ketergantungan baru yang menyulitkan Indonesia untuk mempercepat transisi menuju energi bersih.
Proyek pengembangan kilang seperti RDMP dan GRR menjadi sangat penting untuk meningkatkan fleksibilitas teknis, bukan hanya agar mampu menyerap berbagai jenis crude oil, tetapi juga untuk menjaga posisi tawar di tengah volatilitas pasar global.
Diplomasi energi juga perlu diintensifkan. Dengan meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China, serta sinyal proteksionisme dari negara-negara maju, Indonesia tidak bisa hanya fokus pada keuntungan sesaat.
Keseimbangan antara pragmatisme pasar dan kehati-hatian geopolitik harus dijaga, apalagi jika Indonesia ingin tetap diterima sebagai mitra strategis oleh AS dan Uni Eropa.
Data S&P Global hanyalah titik awal dari wacana yang lebih besar. Dua juta barel minyak yang diangkut kapal Indonesia barangkali belum mengubah peta energi global, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa Indonesia tidak lagi sekadar penonton dalam pergeseran besar dinamika energi dunia.
Kini, pertanyaannya adalah apakah strategi ini dapat dimatangkan menjadi kebijakan jangka panjang yang berkelanjutan, atau justru menjadi celah risiko dalam peta geopolitik yang semakin cair.
0Komentar