![]() |
Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar AS setelah data ekonomi AS menunjukkan pelemahan dan pernyataan hati-hati dari Ketua The Fed Jerome Powell. Simak analisis lengkapnya di sini. (ANTARA) |
Nilai tukar rupiah terpantau menguat terhadap dolar Amerika Serikat di awal perdagangan Jumat, 16 Mei 2025. Penguatan ini terjadi seiring melambatnya pertumbuhan penjualan eceran AS serta pernyataan dari Ketua The Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, yang bersikap lebih hati-hati terhadap arah kebijakan moneter.
Menurut data dari Refinitiv, rupiah dibuka di level Rp16.450 per dolar AS, menguat 0,36% dibandingkan hari sebelumnya. Ini menjadi momen penting karena rupiah berhasil menembus kembali ke bawah level psikologis Rp16.500 per dolar AS.
Sementara itu, indeks dolar AS sendiri melemah 0,24% ke level 100,63. Penurunan ini mencerminkan berkurangnya kepercayaan pasar terhadap greenback setelah rilis sejumlah data ekonomi AS yang di bawah ekspektasi.
Data dari Departemen Perdagangan AS menunjukkan bahwa penjualan eceran hanya tumbuh 0,1% pada April 2025. Angka ini jauh lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sempat direvisi naik menjadi 1,7%. Sebagian besar peningkatan pada bulan Maret disebabkan oleh percepatan pembelian mobil dan barang tahan lama lainnya menjelang pengumuman tarif dari Presiden Donald Trump.
Artinya, lonjakan sebelumnya lebih didorong oleh kekhawatiran terhadap kebijakan, bukan kekuatan fundamental ekonomi. Ini memberi sinyal bahwa daya beli konsumen mulai melemah setelah efek “shock” dari kebijakan perdagangan mereda.
Tekanan tambahan juga datang dari sisi produsen. Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa indeks harga produsen (PPI) mengalami penurunan sebesar 0,5% pada April. Ini mencerminkan merosotnya permintaan, terutama pada sektor jasa seperti perjalanan udara dan hotel. Faktor penyebabnya antara lain kebijakan imigrasi yang lebih ketat dan retorika proteksionis, termasuk pernyataan kontroversial terkait Kanada dan Greenland.
Di saat yang sama, jumlah klaim awal tunjangan pengangguran tetap bertahan di angka 229.000, sesuai dengan proyeksi ekonom. Meski terlihat stabil, ini menunjukkan bahwa kondisi pasar tenaga kerja belum benar-benar pulih dan masih rentan terhadap tekanan eksternal.
Beberapa analis menilai bahwa kondisi konsumen AS saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan tarif, tetapi juga oleh kelemahan struktural yang lebih dalam. Salah satunya adalah sentimen yang mulai memburuk sejak awal tahun, ditambah ketidakpastian arah kebijakan pemerintah AS maupun bank sentral.
Pasar sempat mendapat angin segar awal pekan ini ketika AS dan China menyepakati jeda tarif selama 90 hari. Kabar ini sempat mengangkat harapan bahwa ketegangan dagang akan mereda, dan peluang resesi bisa ditekan.
Namun ekspektasi penurunan suku bunga dari The Fed justru direvisi ulang. Jika sebelumnya diperkirakan terjadi pada bulan Juli, kini pasar memperkirakan penurunan paling cepat terjadi pada September. Data dari LSEG menunjukkan probabilitas 75,4% untuk penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin di bulan tersebut.
Dalam pidatonya pada hari Kamis, Jerome Powell tidak banyak menyinggung arah suku bunga, tetapi ia mengindikasikan bahwa pendekatan terhadap inflasi dan lapangan kerja sedang ditinjau ulang. Pernyataan ini menunjukkan bahwa The Fed masih mencari sinyal yang lebih kuat sebelum mengambil keputusan besar.
Gubernur The Fed Michael Barr turut menyampaikan bahwa meskipun inflasi bergerak mendekati target 2%, ketidakpastian dari kebijakan perdagangan masih menjadi penghambat utama bagi proyeksi ekonomi AS ke depan.
Sejumlah institusi besar seperti Goldman Sachs, JPMorgan, dan Barclays pun mulai merevisi turun proyeksi resesi mereka. Namun ini tidak berarti risiko benar-benar hilang, hanya bergeser menjadi lebih “terkontrol” dengan catatan bahwa tidak ada kejutan kebijakan lebih lanjut.
Dalam konteks ini, penguatan rupiah adalah sinyal positif, tapi juga perlu diwaspadai. Sentimen pasar yang sangat reaktif terhadap setiap pernyataan The Fed atau data ekonomi AS membuat posisi mata uang negara berkembang sangat rentan terhadap perubahan mendadak.
Dari perspektif yang lebih luas, kondisi ini mencerminkan fase transisi. Ekonomi AS sedang berada di titik belok, antara pemulihan dan kemungkinan stagnasi baru. Dunia pun menunggu arah kebijakan selanjutnya, dan apa pun langkah yang diambil The Fed akan berdampak besar, termasuk pada pasar keuangan Indonesia.
Untuk saat ini, pasar menyambut positif kabar perlambatan inflasi dan ketegangan dagang yang sedikit mereda. Namun dengan ketidakpastian yang masih tinggi, pelaku pasar sebaiknya tetap waspada dan tidak terlalu bergantung pada satu arah tren saja.
0Komentar