PT Pertamina Hulu Energi (PHE) tengah mengevaluasi peluang akuisisi saham di proyek minyak Pikka, Alaska, milik Santos dan Repsol. Proyek ini bernilai US$2,6 miliar dan ditargetkan mulai berproduksi 2026. (Daniel Acker/Bloomberg via Getty Images)

PT Pertamina Hulu Energi (PHE) tengah mengkaji peluang akuisisi saham minoritas (participating interest) di proyek ladang minyak Pikka, Alaska. Proyek ini dikelola oleh Santos (51%) dan Repsol (49%) dengan nilai investasi mencapai US$2,6 miliar, dan ditargetkan mulai berproduksi pada pertengahan 2026 dengan kapasitas hingga 80.000 barel per hari (bopd).

Ketertarikan PHE terhadap proyek ini sudah muncul sejak awal 2024. Namun, Direktur Utama PHE Chalid Said Salim menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh sebelum keputusan akhir diambil. 

“Kita masih dalam tahap kajian, semua aspek teknis, komersial, hingga risiko harus dianalisis secara detail,” ujar Chalid.

Meski wacana investasi ini muncul di tengah upaya negosiasi dagang Indonesia–Amerika Serikat, pemerintah menegaskan bahwa akuisisi proyek Pikka tidak berkaitan langsung dengan pembahasan tarif. 

Menteri BUMN Erick Thohir sempat menyebut investasi sektor energi sebagai bagian dari kerja sama bilateral yang berorientasi pada penciptaan lapangan kerja di AS.

Namun di balik itu, langkah ini juga mencerminkan strategi diversifikasi energi Indonesia. Pemerintah tengah mendorong BUMN energi, termasuk Pertamina, untuk memperluas portofolio globalnya sebagai bagian dari upaya mengurangi ketergantungan pada impor BBM serta meningkatkan ketahanan energi nasional.

Proyek Pikka sendiri telah menunjukkan kemajuan signifikan. Fase pertama telah mencapai 82,2% penyelesaian, termasuk pemasangan pipa sepanjang 120 mil dan pengeboran sumur dengan aliran mencapai 6.900 bopd. 

Jika berjalan sesuai rencana, produksi gabungan dari Pikka dan proyek migas lainnya seperti Borossa diperkirakan akan meningkatkan output sebesar 30% pada 2027.

Namun, sejumlah pihak mengingatkan agar PHE tidak terburu-buru. Praktisi migas Hadi Ismoyo mengungkapkan kekhawatiran terhadap harga aset yang mahal dan ketergantungan pada operator asing. 

Ia menyinggung pengalaman PHE di Australia yang dinilai tidak optimal. “Pertamina pernah punya pengalaman buruk di luar negeri. Kalau tidak hati-hati, kita bisa rugi dua kali,” ujarnya.

Selain proyek Pikka, PHE juga tengah menjajaki peluang akuisisi blok migas lain di Amerika Serikat. Meskipun detailnya masih tertutup, langkah ini menjadi bagian dari upaya meningkatkan lifting minyak nasional yang cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. 

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menegaskan bahwa fokus akuisisi adalah pada lapangan migas lepas pantai yang siap produksi dalam waktu cepat.

Namun kritik tetap datang. Hadi menilai investasi luar negeri semestinya bukan prioritas utama. "Produksi dari aset luar negeri tetap tercatat sebagai impor. Ini justru membebani devisa," katanya. Ia mendorong agar PHE lebih fokus pada eksplorasi dan pengembangan dalam negeri.

Dari sisi makro, kondisi ekonomi Indonesia saat ini cukup menopang rencana ekspansi luar negeri BUMN energi. Aliran modal asing mulai menunjukkan tren positif pada Mei 2025, meskipun secara kumulatif sejak awal tahun masih tercatat net outflow sebesar US$3,1 miliar. 

Di sisi lain, cadangan devisa yang mencapai US$152,5 miliar dinilai cukup kuat untuk membiayai impor selama lebih dari enam bulan.

Dengan kombinasi antara peluang, risiko, dan dinamika geopolitik yang melatarbelakangi, keputusan PHE dalam proyek Pikka bisa menjadi langkah strategis – atau justru bumerang – tergantung pada bagaimana proses evaluasi dan eksekusinya dijalankan.